SIKAP POSITIF TERHADAP PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

SIKAP POSITIF TERHADAP PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

Sikap positif warga Negara terhadap nilai-nilai Pancasila terlihat dalam sejarah perjuangan bangsa dan Negara Republik Indonesia. Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 telah terbukti bahwa Pancasila yang merupakan ideology, pandangan hidup bangsa, dan dasar Negara Kesatuan RI benar-benar sesuai dengan kepribadian bangsa dan jiwa bangsa Indonesia serta merupakan sarana untuk mengatasi dan memecahkan masalah yang dihadapi oleh bangsa dan Negara Indonesia.

Pertama, Pancasila hanya akan berkembang kalau segenap komponen masyarakat bersedia bersikap proaktif, terus-menerus melakukan reinterpretasi (penafsiran ulang) terhadap Pancasila dalam suasana dialog kritis –konstruktif. Bila masyarakat bersikap pasif, Pancasila akan makin kehilangan relevansinya. Atau, bias pula Pancasila berubah menjadi ideology tertutup, karena penafsirannya didominasi oleh penguasa atau kelompok masyarakat tertentu.

Kedua, karena terbuka untuk ditafsirkan oleh siapa saja, bias terjadi Pancasila semata-mata ditafsirkan sesuai dengan kepentingan si penafsir.

Sikap positif itu terutama adalah kesediaan segenap komponen masyarakat untuk aktif mengungkapkan pemahamannya mengenai Pancasila.

Sikap positif lain adalah kesediaan segenap komponen bangsa menjadikan nilai-nilai Pancasila makin tampak nyata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehari-hari.

Sikap positif yang paling dibutuhkan untuk menjadikan Pancasila sebagai ideology terbuka yang berwibawa adalah terus – menerus secara konsisten berjuang memperkecil kesenjangan antara ideal-ideal Pancasila dengan kenyataan kehidupan berbangsa sehari-hari.

Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara menggunakan berbagai jalur dan penciptaan suasana yang menunjang, perlu dimasyarakatkan dan dibudayakan dengan cara antara lain sebagai berikut.

1. Jalur Pendidikan

Pasal 6 ayat (1) menyatakan “Setiap warga Negara yang berusia tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”.

a. Pendidikan Informal

Pemerintah berusaha meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan system pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

Sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan secara mandiri. Setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan, yang PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Keluarga merupakan tempat pendidikan yang utama dan pertama bagi semua anak. Keluarga harus menjadi wadah pembentukan insane Pancasila dan sekaligus menjadi pangkal pembentukan masyarakat Pancasila.

b. Pendidikan Formal

Pemerintah harus mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia, menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.

Pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan perguruan tinggi.

Terciptanya suasana belajar yang didasari oleh nilai luhur Pancasila sangat diperlukan di sekolah. Di sekolah terjalin hubungan yang harmonis dan penuh rasa kekeluargaan antara guru, karyawan dan siswa.

c. Pendidikan Nonformal

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan serta berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

2. Jalur Media Massa

Media massa dapat dijadikan wahana bagi pendidikan Pancasila yang demokrasi, baik media modern seperti pers, radio, televise, dan internet maupun media tradisional, seperti aneka macam kesenian rakyat, wayang, ludruk, ketoprak, dan dolanan anak-anak. Penampilan media massa diarahkan untuk membawa misi permasyarakatan dan pancasila sebagai dasar Negara dan nilai-nilai demokrasi.

Menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, peranan pers nasional adalah

a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui

b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokratis, mendorong terwujudnya supremasi hokum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan;

c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar;

d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;

e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

3. Jalur Organisasi Politik, Organisasi Sosial Kemasyarakatan, dan Pranata Sosial

Khusus bagi partai politik seperti dalam pasal 6 Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, ditegaskan tujuan partai politik adalah :

a. Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945

b. Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan RI;

c. Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Fungsi partai politik antara lain adalah mendidik politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga Negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selain itu, partai politik juga berfungsi sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa untuk mensejahterakan masyarakat.

Ciri-Ciri Pria dan Ciri-Ciri Wanita

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Puja puji yang setinggi – tingginya ku persembahkan kehadirat Allah Azza Wajallah yang telah mengatur sebaik-baiknya permasalahan dengan kitab sucinya yang mulia.

Tulisan yang serba sederhana ini adalah mengenai ciri-ciri pria dan ciri-ciri wanita, disamping pria yang sederajat sering menjadi persoalan dikalangan kaum terpelajar barat.

Dan mudah-mudahan kita sekalian dianugerahi Allah SWT taufik dan hidayahnya dalam rangka menuju keridhoan Allah dan rasulnya.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang saya angkat dalam makalah ini adalah :

1. Ciri-ciri Apa saja yang ada pada Pria

2. Ciri-ciri Apa saja yang ada pada Wanita

3. Apa saja perkembangan fisik remaja itu?

4. Apa saja keanekaragaman perubahan proporsi tubuh ?

5. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan fisik ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Agar para mahasiswa mampu mengetahui ciri-ciri pria dan ciri – ciri wanita

2. Melatih para mahasiswa untuk berpikir secara kritis jadi tidak hanya mengikut saja, akan tetapi juga dapat mengemukakan pendapatnya.

3. Menuntut para mahasiswa untuk mengetahui apa sebenarnya yang menjadi tujuan hidupnya di dunia.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah supaya kita khususnya mahasiswa / mahasiswi STAI Tafaqquh Fiddin maupun pembaca lainnya lebih mengerti satu sama lain baik antara pria dengan wanita maupun wanita dengan pria.

Pria dan wanita mempunyai perbedaan atau ciri-ciri tersendiri, meski begitu kita harus bersyukur dan saling menghargai karena tidak bisa di pungkiri bahwa kita hidup untuk saling melengkapi dan membutuhkan.

Hidup ini harus di jalankan dengan saling menghargai, penulis sangat berharap setelah membuat Makalah ini kita para pembaca atau mahasiswa/ mahasiswi bisa lebih mengerti dan memahami tentang betapa harus menghormati antara sesama.

Semua Makhluk Allah SWT tak luput dari kesalahan dan tidak ada yang bisa berdiri sendiri maksud penulis disini bahwa makhluk Allah terutama manusia hidup saling membutuhkan satu sama lain maka dari itu kita sesama makluk tuhan harus bersyukur dan menghargai ciptaannya baik kita sesama manusia yaitu antara pria dan perempuan maupun dengan makhluk-makluk yang lainnya.

Penulis sangat berharagap semoga penelitian ini bukan hanya menambah wawasan para penulis dan para pembaca tapi juga bisa di praktekkan di kedidupan sehari hari tanpa memandang dari sudut perbedaan karena kita semuanya di mata Allah SWT adalah sama.

BAB II

CIRI-CIRI PRIA DAN CIRI-CIRI WANITA

2.1 Ciri-Ciri Pria Dilihat Dari Fisiknya

Bagi seseorang yang sudah mendalami ilmu biologi, dia tahu benar bahwa kejadian tubuh pria sangat berbeda dari kaum wanita, baik dalam keadaan tulang-tulangnya maupun ototnya, demikian juga dalam urat syarafnya. Oleh karena itu maka kelihatanlah kaum pria lebih tegap tubuhnya, lebih kuat fisiknya, lebih keras buku-bukunya, sehingga ia kelihatan gagah perkasa.

Keadaan yang demikian menyebabkan kaum kaum pria lebih tahan bekerja keras membanting tulang, lebih mampu mengangkat suatu yang berat dan bergulat dengan binatang buas, serta lebih sanggup mengerjakan pekerjaan keras dan yang keras, sebagian bukti dapat dilihat dalam buruh-buruh pelabuhan, buruh-buruh pertambangan dan buruh-buruh pabrik-pabrik pengangkutan-pengangkutan yang terdiri dari berbagai besi dan logam.

2.2 Ciri-Ciri Wanita Dilihat Dari Fisiknya

Bagi setiap yang suka memperhatikan bentuk tubuh wanita yang banyak sekali perbedaannya dengan bentuk kaum pria dapat disaksikan bahwa tubuh kaum wanita adalah lemah dan tidak bertenaga. Sehingga ia mengalami kesukaran dalam pekerjaan - pekerjaan yang kasar seperti menebang kayu-kayu yang besar, membelah batu-batu yang besar. Oleh karena itu maka agak sukar bagi kita mencari buruh-buruh wanita dalam pelabuhan – pelabuhan dan pabrik-pabrik raksasa yang sifatnya membutuhkan dan pabrik-pabrik raksasa yang sifatnya membutuhkan tenaga dan kekuasaan fisik.

Demikian Allah menjadikan makhluknya ini berpasang-pasangan, disamping sudah ada makhluk-makhluk nya yang suka lagi perkasa dijadikannya disampingnya makluknya yang lemah gemulai, sehingga yang lemah tetap mencari perlindungan di bawah lingkungan yang kuat serta pihak yang kuat serta memberikan perlindungan kepada si lemah.

Demikian disinyalir dari firman Tuhan yang berbunyi :

Yang maksudnya kira kira :

Kami ciptakan manusia berpasang-pasangan, disamping laki-laki dan perempuan, disamping kaum lemah ada kaum kuat.

2.3 Ciri-Ciri Masa Remaja Pria dan Wanita

Ciri utama bahwa seseorang itu memasuki masa remaja adalah terjadinya “menarche” (menstruasi pertama) bagi wanita, dan “noctural emissions” (mimpi jimak pertama kalinya) bagi laki-laki. Sedangkan ciri-ciri tersebut merupakan kriteria pubertas yang umum. Akibat dari masa pubertas tersebut muncul pada perubahan sikap dan perilaku remaja yaitu ingin menyendiri, sering bertengkar dengan teman-teman dan anggota keluarga, sering melamun, dan bereksperimen seks, pembosan sehingga prestasinya di berbagai bidang menurun, kikuk karena dipengaruhi oleh pertumbuhan yang pesat dan tidak seimbang, emosi meninggi, karena pada masa ini anak merasa khawatir, gelisah, dan cepat marah, sedih dan suasana hati yang negatif sangat sering terjadi selama masa pra-haid dan awal periode haid bagi wanita.

2.4 Perkembangan Fisik Remaja Pria dan Wanita

1. Fase Pra-Remaja yaitu :

a. Pertumbuhan badan sangat cepat. Wanita nampak lebih cepat daripada laki-laki, sehingga dapat menyebabkan seks antagonisme (terjadi saling menjauhi bahkan bermusuhan)

b. Pertumbuhan anggota badan dan otot-otot sering berjalan tak seimbang, sehingga dapat menimbulkan kekakuan dan kekurangan serasian (canggung).

c. Seks primer dan skunder mulai berfungsi dan produktif, ditandai dengan mimpi pertama bagi laki-laki, dan menstruasi pertama bagi perempuan.

2.5 Perbedaan-Perbedaan Hak dan Kewajiban Pria dan Wanita

Disamping banyak persamaan pria dan wanita baikd alam fisik atau mentalnya maka sudah barang tentu di samping itu ada pula perbedaan-perbedaanya. Tetapi yang sudah jelas persamaannya adalah lebih banyak dari perbedaannya.

Justru karena itu maka hak dan kewajiban dua jenis itu di samping ada persamaannya ada pulang perbedaannya. Untuk itu marilah kita ikuti uraian tentang perbedaan-perbedaan dimaksud sebagai berikut :

1. Kaum pria dalam hal ini suami atau ayah berkewajiban membiayai sang istrik dan anak-anaknya baik yang berkenaan dengan pendidikannya atau pun kebutuhannya sehari-hari yang terdiri dari lima P yaitu :

a. Pangan d. Pendidikan

b. Pakaian e. Pengobatan

c. Perumahan

2. Kaum wanita dalam hal ini istri wajib taat ke pada sang suami dalam batas-batas tertentu, maka ia berdosa apabila ia durhaka kepada suaminya. Tetapi sang suami tidak mengenal istilah taat dan durhaka kepada istri.

3. Kaum pria dibolehkan menikahi empat orang perempuan sekaligus apabila ia akan dapat berlaku adil terhadap pada istrinya.

4. Kaum wanita yang menjanda karena meninggal suami atau akibat perceraian diharuskan lebih dahulu beribadah yakni menunggu lewatnya waktu yang sudah ditentukan yaitu tiga bulan atau tiga kali suci. Maka baru boleh ia menikah tetapi sang pria dalam hal ini suami tidak mengenal sedikitpun mengenai peristilahan iddah ini.

5. Kaum pria boleh saja mengadakan perjalanan jauh dan dekat tanpa diikuti siapapun, tetapi kaum wanita tidak dibolehkan sama sekali melakukan perjalanan jauh tanpa diikuti oleh muhrim atau suaminya.

6. Kaum pria setelah dengan melalui berbagai pertimbangan kemashlahatan dapatlah ia menyatakan talak istrinya. Sebaliknya kaum wanita dalam hal ini kaum istri tidak berhak sama sekali menolak suaminya.

7. Kaum pria diwajibkan melakukan sholat Jum’at, tetapi kaum wanita tidak diwajibkan

8. Apabila keadaan memaksa melakukan peperangan diluar wilayah kita, wajiblah kaum pria ikut serta dalam peperangan itu, adapun kaum wanita tidak dikenakan kewajiban tersebut.

9. Kaum lelakai syah menjadi imam bagikaum perempuan dan tidak syah sebaliknya.

10. Kaum wanita dalam kewarisan mempunyai bahagian tertentu sedang kaum lelaki hanya menerima sisa-sisa dari yang ditentukan untuk kaum wanita.

BAB III

PENUTUP

Sesuai dengan keterangan saya pada pendahuluan maka tulisan ini kami akhirilah dengan suatu penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.

3.1 Kesimpulan

Di bawah ini penulis akan menyajikan kesimpulan-kesimpulan yang telah diperoleh dari bab-bab yang telah lalu seperti di bawah ini :

1. Insan terdiri dari dua jenis pria dan wanita

2. sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan ciri-ciri khas dua jenis itu terjadilah perbedaan perbedaan hak-hak dan kewajiban antara kedua jenis itu yang berjumlah lebih sepuluh masalah.

3.2 Saran

Di bawah ini penulis ingin menyampaikan sasaran-sasaran dan sarjana-sarjana Islam dalam hal-hal tersebut :

1. Hendaklah setiap IAIN mendiskusikan persoalan yang menjadi pokok dalam urusan ini yang kemudian disusul dengan diskusi antara IAIN se Indonesia.

2. Supaya mahasiswa/mahasiswi lebih menghargai orang yang berbeda kodratnya.

3. Agar kita lebih memahami manfaat dan perbedaan satu sama lain.



PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN ; KEKUASAAN MUTHLAK, KEADILAN TUHAN, AKAL DAN WAHYU

PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN ; KEKUASAAN MUTHLAK, KEADILAN TUHAN, AKAL DAN WAHYU

I

PENDAHULUAN

Perbedaan pendapat pada manusia adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Jika manusia sejak kecilnya memandang alam sekitarnya dengan pandangan filosofis – sementara pandangan orang berbeda-beda, maka kelanjutan ialah bahwa gambaran dan imajinasi manusia juga berbeda-beda. Demikian juga halnya yang terjadi dalam kenyataan kehidupan kaum muslimin, di mana sejarah mencatat bahwa kaum muslimin sepeninggal Rasulullah SAW. Setelah terbagi kepada beberapa aliran dalam bidang Teologi yang semulanya hanya dilator belakangi oleh persoalan politik, seperti : Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Masing-masing aliran berbeda pendapat dalam mengemukakan konsep mereka dalam bidang teologi, di samping disebabkan karena mamang munculnya perbedaan itu terkait langsung dengan perbedaan kecenderungan, tingkat pengetahuan dan pengalaman, juga disebabkan karena di antara dasar-dasar agama, baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi memberikan peluang untuk munculnya perbedaan persepsi dalam memberikan peluang untuk munculnya perbedaan persepsi dalam memberikan interpretasi, khususnya dalam lapangan teologi seperti masalah sifat-sifat tuhan, perbuatan manusia dan perbuatan Tuhan, keadilan, kehendak muthlak Tuhan, akal dan wahyu.

Makalah ini mencoba untuk mengetengahkan pembahasan tentang keadilan, kehendak mutlak Tuhan, akal dan wahyu dengan memperbandingkan pendapat berbagai aliran dalam Islam yang pernah muncul dalam sejarah.

II

PEMBAHASAN

A. Kekuasaan Muthlak Tuhan

Dalam menjelaskan kemuthlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan ini, Asy’ari menulis dalam Al-Ibanah-nya bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun, di atas Tuhan tidak ada lagi suatu zat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa ada lagi suatu zat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat oleh Tuhan.[1] Tuhan bersifat absolute dalam kehendak dan kekuasaan-Nya. Sebagaimana kata al-Dawwaniy sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abduh, Tuhan adalah Maha Pemilik (al-Malik) yang bersifat absolute dan berbuat apa saja yang dikehendakiNya di dalam kerajaanNya dan tidak seorangpun yang dapat mencela perbuatanNya. Sunggupun perbuatan-perbuatan itu oleh akal manusia dipandang bersifat tidak baik dan tidak adil.[2] Lebih tegas ia menulis :

“Tuhan bersifat adil dalam segala perbuatanNya. Tidak ada suatu laranganpun bagi Tuhan. Dia berbuat apa saja yang dikehendakiNya. Seluruh makhluk milik-Nya dan perintahNya adalah di atas segala perintah. Dia tidak bertanggungjawab tentang perbuatan-perbuatanNya kepada siapapun”.

Sejalan dengan pernyataan di atas, al-Ghazali juga sama berpendapat bahwasanya Tuhan dapat berbuat apa saja yang dikehendakiNya, dapat memberikan hukuman menurut kehendakNya, dapat menyiksa orang yang berbuat baik jika itu dikehendakiNya dan dapat memberi upah kepada orang kafir jika yang demikian dikehendakiNya.

Bagi kaum Asy’ariyah, Tuhan sama sekali tidak terikat kepada apapun, tidak terikat kepada janji-janji, kepada norma-norma keadilan dan sebagainya. Sementara menurut kaum Mu’tazilah, kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat muthlak lagi. Sebab, kekuasaan Tuhan sudah dibatasi oleh kebebasan, yang menurut Mu’tazilah, telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatannya. Selanjutnya kekuasaan muthlak Tuhan itu dibatasi pula oleh keadilanNya. Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendakNya, Tuhan telah terikat kepada norma-norma keadilan yang kalau dilanggar, membuat tuhan bersifat tidak adil. Bahkan zhalim. Sifat seperti ini tentu saja tidak bisa diberikan kepada Tuhan. Kekuasaan dan kehendak muthlakNya dibatasi lagi oleh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia yang menurut kaum Mu’tazilah memang demikian. Kekuasaan muthlak itu dibatasi pula oleh hukum alam (nature of law : sunnatullah) yang tidak mengalami perobahan. Hal ini didasarkan pada QS. Al-Ahzab ayat 62 : (Tidak akan engkau jumpai perubahan pada Sunnatullah).

Adapun kaum: Muturidiyah, khususnya kelompok Bukhara, mereka menganut pendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan muthlak. Menurut al-Bazdawiy, Tuhan memang berbuat apa saja yang dikehendakiNya dan menentukan segala-galanya menurut kehendakNya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan, dan tidak larangan-larangan terhadap Tuhan.[3] Akan tetapi walau bagaimanapun juga faham mereka tentang kekuasaan Tuhan tidaklah semuthlak faham Asy’ari.

Adapun kaum Maturidiy kelompok Samarkand, tidaklah sekeras kelompok Bukhara dalam mempertahankan kemuthlakan kekuasaan Tuhan, akan tetapi tidak pula memberikan batasan sebanyak batasan yang diberikan oleh kaum Mu’tazilah bagi kekuasaan muthlak Tuhan. Batasan-batasan yang diberikan oleh kaum Maturidiy kelompok samarkand ini, adalah :

1. Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang menurut pendapat mereka ada pada manusia

2. Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, akan tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia dalam mempergunakan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya untuk berbuat baik atau berbuat jahat.

Keadaan hukuman-hukuman Tuhan, sebagaimana kata al-Bayadhi, tidak boleh tidak mesti terjadi. tidak ada suatu zatpun yang lebih berkuasa. Tuhan adalah diatas segala-galanya. Batasan-batasan itu ditentukan oleh Tuhan sendiri dan dengan kemauan-Nya sendiri pula. We Allahu Alam.

KEADILAN TUHAN

v Faham Muta’zilah

Soal keadilan mereka tinjau dari sudut pandangan manusia, bagi mereka sebagai yang diterangkan oleh Abd al-Jabbar, keadilan erat kaitannya dengan hak dan keadilan diartikan memberikan orang akan haknya . Kata-kata “Tuhan Adil” mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik, bahwa ia tidak dapat berbuat yang buruk dan bahwa ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. oleh karena itu Tuhan tidak boleh bersifat Zalim dalam memberi hukuman, tidak dapat menghukum anak orang musyrik lantaran dosa orang tuanya dan mesti memberi upah kepada orang – orang yang patuh pada –Nya dan memberikan hukuman kepada orang – orang yang menentang perintah-Nya. Selanjutnya keadilan juga mengadukan arti berbuat semestinya serta seusai dengan kepentingan manusia.[4] Dan memberi upah atau hukuman kepada manusia sejajar dengan corak perbuatannya. Menurut al – Nazzam an pemuka – pemuka Mu-tazilah lainnya, tidak dapat dikatakan bahwa tuhan berdaya untuk bersifat zalim, berdusta dan untuk tidak dapat berbuat apa yang terbaik bagi manusia.

v Faham Asy’ariyah

Kaum Asy’ariyah mereka menolak faham Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan – perbuatannya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan perbuatan dalam arti sebab dalam mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu betul mereka akui bahwa perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan dan keuntungan itu tidaklah mendorong bagi Tuhan untuk berbuat. Tuhan berbuat semata – mata karena kekuasaan dan kehendak mutlaknya bukan karena kepentingan manusia atau tujuan lain. Dengan demikian adanya tendensi untuk meninjau dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan kehendak dan pengetahuan pemilik. Dengan demikian keadilan Tuhan mempunyai arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan berbuat sekehendak hati-Nya. Ketidak adilan, sebaliknya berarti “Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak terhadap hak milik orang”. Oleh karena itu, Tuhan dalam faham kaum Asy’ariyah dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya, sesungguhnya hal itu menurut pandangan manusia adalah tidak adil. Asy’ari sendiri berpendapat bahwa Tuhan tidaklah berbuat salah kalau memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka. Perbuatan salah dan tidak adil adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan karena di atas Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum.[5] Dengan demikian, Tuhan tidak bisa dikatakan tidak adil. Al-Ghazali juga berpendapat demikian. Ketika adilan dapat timbul hanya jika seseorang melanggar demikian. Ketidakadilan dapat timbul hanya jika seseorang melanggar hak orang lain dan jika seseorang harus berbuat sesuai dengan perintah dan kemudian melanggar perintah itu. Perbuatan yang demikian mungkin ada pada Tuhan.[6] Sekiranya ini dilakukan Tuhan, Tuhan tidaklah berbuat salah dan Tuhan tetap masih bersifat adil.[7] Upah yang di berikan Tuhan hanyalah merupakan rahmat dan hukuman tetap merupakan keadilan Tuhan, Tuhan tetap bersifat adil.[8]

v Faham Maturidiyah

Faham Maturidiyah ini ada dua golongan pertama golongan maturidiyah Bukhoro yang kedua golongan Maturidiyah di Samarkand. Golongan maturidiyah Bukhoro mempunyai sikap yang sama dengan kaum Asy’ariyah. Menurut Al-Badzawi tidak ada tujuan yang mendorong Tuhan untuk menciptakan kosmos ini. Tuhan berbuat sekehendak hatin-Nya. Dengan kata lain al-Bazdawi berpendapat bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia.

Bagi kaum Mu’tazilah dan kaum maturidiyah kelopak Samarkand persoalan persoalan tersebut tidaklah timbul, karena bagi mereka perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan tetapi adalah perbuatan manusia itu sendiri. Jadi, manusia dihukum atas perbuatan yang dikehendakinya sendiri dan yang dilakukan bukan dengan paksaan, akan tetapi dengan kebebasan yang diberikan Tuhan kepadanya. Bagi kaum Maturidiyah kelompak Bukhra, karena sefaham dengan kaum Asy’ariyah, maka persoalan itu pada dasarnya ada, akan tetapi faham masyi’ah dan ridha membebaskan golongan bukhara dari persoalan ini.

AKAL DAN WAHYU

1. Pengertian akal

Kata akal berasal dari kata Arab al-Aql yang dalam bentuk kata benda tidak terdapat dalam al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya aqaluh dalam 1 ayat, ta’qilun 24 ayat, na’qil 1 ayat, ya’qiluha 1 ayat dan ya’qilun 22 ayat. Kata-kata itu dalam arti paham dan mengerti.[9]

Sebagai contoh dapat disebutkan ayat-ayat berikut yang artinya :

Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah : 75).

2. Pengertian Wahyu

Ayat al-Qur’an yang menjelaskan cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dengan Nabi-nabi di antaranya. Yang artinya sebagai berikut :

Tidak terjadi bahwa Allah berbicara kepada manusia kecuali dengan wahyu, atau dari belakang tabir, atau dengan mengirim seorang utusan, untuk mewahyukan apa yang ia kehendaki dengan seizing-Nya. Sungguh ia maha Tinggi lagi maha Bijaksana. (Q.S. Asy-Syuura; 51)

Ayat di atas menjelaskan adanya komunikasi antara Tuhan dengan manusia, baik cara penyampaian wahyu itu di belakang tabir maupun dengan mengutus malaikat.

Wahyu yang dalam Islam bukanlah hanya isi tetapi juga teks Arab dari ayat-ayat sebagai terkadang dalam al-Qur’an dalam teks Arabnya dari Tuhan adalah bersifat absolute.

Wahyu menurut ilmu bahasa adalah isyarat yang cepat dengan tangan dan sesuatu isyarat yang dilakukan bukan dengan tangan. Juga bermakna surat, tulisan dan juga bermakna segala sesuatu yang kita sebuat kepada orang lain untuk diketahui.[10]

Dari pengertian akal dan wahyu yang telah diungkapkan di atas, penulis akan membahas bagaimana peranan akal dan wahyu dalam system teologi Mu’tazilah, Asya’ariyah dan Maturidiyah pada kajian selanjutnya.

A. Akal dan Wahyu menurut Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah

1. Mu’tazilah

Mu’tazilah adalah aliran teologi yang bersifat tradisional dan liberal, dan dikenal juga dengan nama “Kaum Rasionalisme Islam”.[11]

Bagi Mu’tazilah akal maupun mengetahui keempat persoalan pokok di atas, berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu wajib, mengerjakan yang baik dan menjahui yang jahat adalah wajib.

Tokoh Mu’tazilah yang lain seperti al-Nazaam juga mengatakan sedemikian sebelum wahyu datang akal wajib mengetahui Allah, mengetahui yang baik dan yang jahat. Golongan al-Murdar yang dipelopori oleh Isa ibn Sabih lebih jauh lagi menurut mereka akal wajib mengetahui Allah, mengetahui hukum-hukum dan sifat Tuhan, walaupun wahyu belum dating orang yang tidak berterima kasih kepada Tuhan mendapat hukuman kekal dalam neraka.

Dengan demikian, bagi kaum Mu’tazilah daya akal kuat tetapi fungsi wahyu penting yaitu memperkuat apa yang telah diketahui oleh akal. Memang akal dapat mengetahui yang baik dan yang jahat. Tetapi tidak semua yang baik itu baik dan yang jahat itu jahat seperti apa yang diketahui oleh akal. Jadi hanya sebagian saja yang diketahui oleh akal.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bagi kaum Mu’tazilah akal cukup mampu mengetahui keempat persoalan pokok tersebut, akan tetapi persoalan baik dan jahat yang dapat diketahui akal secara garis besarnya saja. Sedangkan secara terperinci ditetapkan oleh wahyu. Oleh sebab itu, bagi kaum Mu’tazilah fungsi wahyu lebih banyak bersifat konfirmasi daripada informasi.

2. Asy’ariyah

Asy’ariyah system teologinya bersifat tradisional, kaum ini memberikan daya terkecil kepada akal dan fungsi terbesar kepada wahyu. Bagi mereka akal manusia hanya dapat mengetahui adanya Tuhan saja, sedangkan mengetahui baik dan jahat dan kewajiban-kewajiban manusia dapat diketahui melalui wahyu. Dengan demikian, jika sekiranya wahyu tidak ada manusia tidak akan tahu kewajiban-kewajibannya. Sekiranya syariat tidak ada, kata al-Ghazali, manusia tidak akan berkewajiban mengetahui Tuhan dan tidak akan berkewajiban berterima kasih kepada-Nya atas nikmat yang diturunkan-Nya kepada manusia.[12]

Pendapat al-Baqhdadi tentang upah ini bertentangan dengan konsep kaum Mu’tazilah, bagi Mu’tazilah, Allah wajib memberi pahala atas perbuatan yang dianggap jahat oleh akal karena pada perbuatan itu sendiri terdapat sifat kebaikan dan kejahatan.

Tidak ada kewajiban sebelum datangnya syariat dan akal tidak dapat menentukan kewajiban sebelum datangnya syariat.[13] Dengan demikian persoalan baik dan buruk tidak dapat diketahui oleh akal.

Dari pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh tokoh Asy’ariyah satu pendapat tentang kemampuan akal manusia, bagi mereka akal hanya dapat mengetahui wujud Tuhan, dalam tiga pokok lainnya dapat diketahui manusia dengan adanya wahyu. Oleh sebab itu, wahyu lebih banyak bersifat informasi daripada konfirmasi, karena akal manusia menurut system teologi Asy’ariyah lemah. Tetapi pengiriman rasul bagi aliran ini jaiz.[14] Sesuai dengan konsep Kehendak Mutlak Tuhan tidak ada kewajiban bagi Tuhan untuk mengutus rasul.

3. Maturidiyah

Maturidiyah dan Asy’ariyah disebut juga dengan golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah, tetapi dalam system teologinya terdapat perbedaan pendapat dalam menempatkan kedudukan akal dan wahyu.. sementara itu Maturidiyah terpecah pula menjadi dua golongan, masing-masingnya mempunyai persepsi yang berbeda dalam menempatkan kedudukan wahyu dan akal untuk menjawab keempat persoalan terdahulu.

Maturidiyah samarkand dengan tokohnya Abu Mansur al-Maturidi dan Maturidiyah Bukhara dengan tokohnya al-Bazdawi. Maturidiyah Samarkand berpendapat hanya satu yang tidak dapat diketahui akal yaitu butir empat. Untuk itu, diperlukan wahyu. Ketiga butir lainnya dapat diketahui akal.

Dalam hal yang demikian Maturidiyah Samarkand sependapat dengan Mu’tazilah yang mengatakan akal manusia mampu mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan yang jahat. Namun, kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat bagi Mu’tazilah dapat diketahui akal tetapi bagi Maturidiyah Samarkand diketahui dengan wahyu. Sebagaimana penjelasan al-Bazdawi, “Percaya kepada Tuhan dan berterimakasih kepada-Nya sebelum adanya wahyu adalah wajib dalam paham Mu’tazilah Al-Syaikh Abu Mansur al-Maturidi dalam hal ini sepaham dengan Mu’tazilah. Demikian jugalah umumnya Ulama Samarkand dan sebahagian dari alim ulama Irak.[15]

Menyangkut masalah pengetahuan tentang keburukan menurut Maturidiyah Samarkand ini ialah : bagi seluruh (al-Asyya’) itu terhadap keburukan yang sebenarnya (zati). Sementara itu akal mampu mengetahui sebahagian dari keburukan perbuatan itu. Maturidi membagi sesuatu (al-assya’) itu kepada tiga bagian.

Pertama : Sesuatu yang dapat diketahui kebaikannya dengan akal

Kedua : Sesuatu yang tidak jelas kebaikan dan keburukannya untuk diketahui oleh akal.

Bagian terakhir ini tidak dapat diketahui kecuali melalui petunjuk syariat.[16]

Argument al-Maturidi tentang akal ini adalah akal mengetahui bahwa bersikap adil dan lurus adalah baik dan bahwa bersikap tak lurus adalah buruk. Oleh karena itu, akal memang mulia terhadap orang yang adil serta lurus, dan memandang rendah terhadap orang yang bersikap tak adil dan tak lurus. Akal selanjutnya memerintah manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang akan mempertinggi kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang akan mempertinggi kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang membawa kepada kerendahan. Perintah dan larangan itu dengan demikian menjadi wajib dengan kemestian akal (fa yajib al-amr wa al-nahy bi ma’rifah al-aql).

Diisyaratkan dari kutipan di atas yang diwajibkan akal adalah adanya perintah dan larangan bukan mengerjakan yang baik dan buruk.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bagi Maturidiyah Samarkand akal manusia mampu mengetahui tiga butir persoalan pokok tersebut. Tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menjauhi yang jahat diketahi dengan wahyu. Kalau dibandingkan dengan Asy’ariyah, daya akal bagi Maturidiyah Samarkand lebih tinggi, baginya tiga yang diketahui akal, tetapi bagi Asy’ariyah hanya satu. Adapun maturidiyah Bukhara, baginya hanya dua saja yang dapat diketahui akal, yaitu adanya Tuhan dan kebaikan serta kejahatan.[17] Akibat dari pendapat ini ialah mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia. Dan ini memang merupakan pendapat golongan Bukhara, alim ulama Bukhara kata Abu Uzbah sebelum adanya rasul-rasul, percaya kepada Tuhan bukanlah merupakan dosa.[18]

Karena kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan meninggalkan yang buruk hanya diketahui sesudah adanya rasul.[19] Fungsi akal bagi Maturidiyah Bukhara adalah untuk pengetahuan, dan kewajiban diterima manusia dari wahyu.

Dibandingkan dengan Maturidiyah Samarkand, daya akal bagi Maturidiyah Bukhara ini lebih kecil, karena Maturidiyah Samarkand, akal baginya mampu mengetahui tiga persoalan pokok bagi Maturidiyah Bukhara hanya dua saja, tetapi kalau dibanginakan dengan Asy’ariyah, daya akal tinggi yaitu dua banding satu.

Hasil analisa perbandingan antara Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara, maka ternyata Maturidiyah Samarkand lebih dekat system teologinya dengan Ma’tazilah, dan Maturidiyah Bukhara lebih mendekati pemikiran Asy’ariyah.

Sebagai gambarnya dapat dilihat dari diagram yang telah digambarkan Prof. Harun Nasution berikut ini :

Dalam bentuk table dapat dilihat perbandingan fungsi akal dan wahyu antara aliran di atas sebagai berikut : [20]

Aliran Teologi

Mengetahui Tuhan

Kewajiban mengetahui Tuhan

Mengetahui Baik dan Buruk

Kewajiban Mengerjakan Baik dan menjauhi yang jahat

Mu’tazilah

Akal

Akal

Akal

Akal

Asy’ariyah

Akal

Wahyu

Wahyu

Wahyu

Maturidiyah Samarkand

Akal

Akal

Akal

Wahyu

Maturidiyah Bukhara

Akal

Wahyu

Akal

Wahyu

B. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan, bagi Mu’tazilah akal mampu mengetahui Tuhan, kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, mengetahui yang baik dan yang jahat, dan kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, mengetahui yang baik dan yang jahat, dan kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang jahat. Fungsi wahyu pada aliran ini lebih banyak bersifat konfirmasi.

Sedangkan system teologi Asy’ariyah derajat akal lemah sekali, daya akal hanya mampu mengetahui Tuhan, sedangkan tiga butir lainnya dapat diketahui manusia lewat wahyu.

Adapun bagi Maturidiyah Samarkand yang diketahui akal adalah mengetahui Tuhan, mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan mengetahui mana yang baik dan mana yang jahat. Selain itu hanya dapat diketahui melalui petunjuk wahyu.

Maturidiyah bukhara deraja dakal dan wahyu berimbang daya akal dapat mengetahui dua persoalan pokok yaitu, mengetahui Tuhan dan mengetahui perbuatan yang baik dan jahat. Tetapi yang berkaitan dengan kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan kewajiban mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang jahat, keduanya ini diketahui manusia dengan adanya wahyu.

Paham Maturidiah ada 2 golongan

- Maturidiah Bukhoro punya sikap sama dengan asyariah bahwa Tuhan berbuat semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlaknya bukan karena kepentingan manusia atau tujuan lain dan tidak terikat terhadap siapapun.

- Maturidiah Syamarkand sebaliknya

DAFTAR PUSTAKA

Al Baghdadiy, Abu mansur Abd al-Qahir ibn Tahir al-Tamimi. Kitab Ushul al-Din, 1 st. cd. Maktabah al-Hahiyyat, Constantinopel, 1928.

A. Hanafiy, Pengantar Teologi Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1987.

Abi Mansur al-Maturidi, Kitab al-Tauhid, Makhtabah al-Islamiyah, Istambul, 1979.

Al-Bazdawi, Ushul al-Din, Dar al-Ihya’al-Kutub al-arabiah, Kairo, 1963.

Ahmad Mahmud Shubhi, Fi Ilm al-Kalam al-Asy’ariyah, Tsaqafah, Iskandariyah, 1982.

Al-Ghazali, al-Iqtishad ti al-I’tiqad, Dar al-Amanah Beirut, 1969.

Al-, Jakarta, 1987

Harun Nasution, Muhammad Press, Bintang Jakarta, 1954.



[1] Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawiy, Kitab Ushul al-Din, Hans Petter Lins, Isa al-Baby al-Halaby, Kairo, 1963, hal. 68.

[2] Syaikh Muhammad Abduh, Hasyiyah ‘ala Al-Aqa’id al-“adudiyah, Ed. Dr. Sulayman Dunya dalam al-Syaikh Muhammad Abduh Baya al-Falasifah wa al-Kalamiyyin, Isa al-Baby al-Halabiy, kairo, 1958, hal. 546.

[3] Al-Bazdawiy, op. cil., hal. 130.

[4] Al-Syahrasytaniy, al-Milal wa al-Nihal, Op.Cip, hal.58

[5] Al—Asy’ariy, Kitab al-Luma’ J. McCharthy S.J., Imprimerie Catholique, Byrout, 1952, hal 71

[6] Al-Ghazaliy, Op. Cit., hal 183

[7] Al-Asy’ariy, Kitab al-Luna, Log. Cit

[8] Al-Bazdawiy, Op. Cit, hal 130

[9] Harun Nasution, Op. Cit.,

[10] M. Hasbi-Asy-shidiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta. 1954 hal 12

[11] Harun Nasution, Op. Cit., hal. 38

[12] Ibid., hal. 100

[13] Al-Juwaini, al-Syamil fi ushul al-Din, Al-Maarif. Iskandariyah, 1969, hal. 115

[14] Al-Ghazali, Op. Cit., hal. 160

[15] Al-Bazdawi, Ushul al-Din, Dar al-Ihya’al-Kutub al-Arabiah, Kairo, 1963, hal 207

[16] Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit., hal. 297

[17] Harun Nasution, Akal dan Wahyu, Op. Cit., hal. 77

[18] Harun Nasution, Teologi Islam, Op. Cit., hal. 91

[19] Al-Bazdawi, Op. Cit., hal. 209

[20] Harun Nasution, loc. Cit.



Jempolnya Dong...!!!

yahooo misengeR

Pengikut


widgeo
Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x



Gratisan Musik

About this blog



Sebagai kuli ngetik,,,
nyaris tiap hari rie mijitin ne keyboard,,,
**bahkan kata nyaris bisa dihilangkan**
makanya @rie ^bergiat^ buat blog biar apa yg @den kerjakan setiap hari bisa bermanfaat juga u/ org laen...
tapi g' semua yg kita ketik kita postingin disini,,,
harus melalui tahap seleksi dulu donk...
^g' mungkin kale surat cere d publicasikan^
he_3
*moga artikelnya bermanfaat* (cozy) enjoy to my blog,,,,

about me,,, ariebae <~ http://ariebae.co.cc