PERJUANGAN SINGKAT MASYARAKAT DUMAI
DALAM MEREBUT KEMERDEKAAN
Saat terakhir Orde Baru (Orba) melalui gerakan reformasi yang dilancarkan mahasiswa di seluruh tanah air. Dumai pun menggeliat untuk mencari identitas diri. Ketika publik sibuk dalam eforia penghujatan terhadap sebuah rezim, elemen masyarakat Dumai lintas agama, parpol dan ormas larut memperjuangkan status wilayahnya, mereka bahu-membahu menyusun strategi. Ingin seperti “saudara tuanya” menjadi daerah otonom yang berdiri sendiri. Jika saja terlambat, boleh jadi sejarah akan lain.
Reformasi membawa berkah tersendiri bagi masyarakat Dumai. Sebab, salah satu tuntutas mahasiswa, yaitu ditata ulangnya pemerintahan yang sentralistik ke desentralisasi. Dengan kata lain daerah diberi keluasaan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Tanpa perlu di cekoki pusat. Selain moneter, pertahanan keamanan, agama, unsure penegak hukum. Kehakiman, serta tanah, daerah dipersilahkan mengaturnya.
Tidak hanya reformasi, kondisi sangat menguntungkan Dumai. Ketika itu Mendagri dijabat Letjen Syarwan Hamid yang tidak lain putra terbaik Riau. Notabene mantan Kasospol ABRI ini tahu betul kondisi daerahnya termasuk kota pesisir yang ketika itu masih berstatus kota administrative (kotif), dan walikotanya dijabat Drs. H. Zainudin Abdullah.
Menurut salah satu tokoh sejarah perjuangan Dumai menjadi Kota Madya sekarang Kota Drs. H. Umar Umayah BSc yang juga koordinator Komite Reformasi Masyarakat Dumai (KRMD), Wacana ingin meningkatan status Dumai berasal dari berbagai elemen masyarakat. Mulai dari tokoh masyarakat dari berbagai suku yang berdomisili di wilayah itu. Agama, pemuda, insan pers, dan LSM.
Dituturkan mantan anggota DPRD Kota Dumai periode lalu, wacana itu didiskusikan antar elemen masyarakat ini dilakukan secara intensif, dan kantor AMPI yang terletak di Jalan Yos Sudarso menjadi saksi sejarah bagaimana strategi disusun untuk memperjuangkan perubahan status ini.
Kesempatan emas pun datang, lanjut Umar, saat itu Mendagri berkunjung ke Riau dalam rangka melantik Saleh Djasit menjadi Gubri sebagai pengganti Soeripto. Tanpa membuang waktu lagi, moment ini dimanfaatkan mereka. Saat berada di badar udara Simpang Tiga, utusan Dumai mendatangi Syarwan dan selanjutnya “membisikkan” keinginan untuk merubah status dari Kotif menjadi Kodya sambil memperlihatkan dukungan masyarakat.
Mantan pimpinan MPR dan DPR RI utusan ABRI ini pun merespon keinginan itu. Hanya saja, Syarwan mewanti-wanti kalupun rencana ini diperjuangkan maka harus dipersiapkan beberapa persyaratan. Diantaranya, dukungan bupati induk, surat keterangan pelepasan wilayah dari DPRD Bengkalis serta dukungan serupa berasal dari DPRD Riau dan Gubri, peta wilayah dan sebagainya yang menjadi persyaratan.
Dukungan dari DPRD Riau dan Gubri dalam waktu relatif singat mereka kantongi. Cuma yang menjadi penganjal adalah dokumen yang berasal dari kabupaten induk. Waktu pun berjalan semua persiapan termasuk konsep mulailah mereka kerjakan, khusus draff ditangani oleh Tengku Khaidir, pria tinggi besar ini pun mengerjakan semuanya hingga siang dan malam di eks kantor walikota lama, Jalan Soebrantas.
“Dalam waktu sebulan, kita telah memperoleh surat semacam dukungan atau restu dari DPRD Riau dan Gubri. Sementara dari kabupaten induk belum,” jelas Umar.
Kendati jalan yang dilalui cukup terjal, lanjut Umar, namun mereka tidak patah arang memperjuangkan tujuan ini. Salah satu penyebabnya, lanjut tokoh sepu itu, yakni adanya dukungan penuh dari Walikota Dumai saat itu, Drs. Zainudin Abdullah, tidak hanya moril bahkan materil.
“Pak Zal panggilan akrab Zainudin mensupport perjuangan ini. Bahkan ia pernah berujar agar kita maju terus, dan ia siap mempertaruhkan jabatannya demi perubahan status menjadi Kodya,” kenangnya.
Salah satu bentuk dukungan yang diberikan, yakni menginstruksikan Tengku Khaidir yang saat itu menjabat Plt Setdako sebagai bentuk agar perjuangan berjalan mulus, pertemuan dan diskusi dilakukan. Menurut mantan sekretaris KPUD Kota Dumai itu, dukungan dari birokrat atau PNS saat itu cukup tinggi, kendati ada juga yang kontra.
Adapun alasannya, sebut dia, mereka takut jika terjadi perubahan status nanti akan mengancam karirnya, namun, hal itu bukan persoalan serius. Akan tetapi, katanya ditempat terpisah, permasalahan justru saat membuat peta wilayah, yang sulit didapat ketika itu, tambah dia lagi.
“Jadi kita buat saja sendiri, banyak tempat-tempelnya pakai kertas,” tertawa.
Untuk membiayai perjuangan, sambung Umar, selain bantuan datang dari walikota, juga berasal dari swadaya termasuk “tek-tekan” beberapa pengurus yang dikumpulkan orang nomor satu Dumai saat itu.
“Ya, dan untuk perjuangan tidak banyak, mungkin sekitar Rp. 100 juta, tidak seperti dibayangkan orang. Dan itu berasal dari sumbangan walikota, swadaya dan pengusaha. Makanya kita menunjuk Guruh Somali agar memudahkan pengumpulan dana yang berasal dari masyarakat Tiongha (pengurus, red),” ingatnya.
Untuk mempercepat proses perubahan status, lanjut tokoh senior PG ini, Gubri Saleh Djasit mengelaur an keputus dengan nomor register No. KPTS 541/XI/1998 tertanggal 26 November yang intinya dibentuk tim persiapan peningkatan status kota administrative (Kotif) Dumai menjadi kotamadya daerah tingkat II.
Adapun tugas tim ini, tambahnya melanjutkan, mempersiapkan bahan-bahan teknis dan administrasi yang diperlukan dalam rangka mempercepat proses peningkatan kotif Dumai menjadi Kodya. Dalam melaksanakan tugasnya, lanjutnya menambahkan, tim ini bertanggung jawab langsung kepada orang nomor satu Bumi Lancang Kuning itu.
Meski di Bandar udara Simpang Tiga saat berjumpa dengan Mendagri dihadiri juga oleh Bupati Bengkalis, dan yang bersangkutan mengaminkan setiap instruksi Syarwan termasuk membantu APBD Dumai selama tiga tahun. Aakn tetapi, lanjut pria berkumis itu menilai, ada juga beberapa pihak yang setengah hati melepaskan Dumai, bahkan, tandasnya ada beberapa yang menghubungkan agar keinginan itu dibatalkan dengan berbagai dalih.
Karena waktu terus berjalan dan semakin mepet, sambung Umar, sementara disisi lain persyaratan yang berasal dari kabupaten Induk belum di dapat, akhirnya ia pun menghubungi Ketua DPRD Bengkalis untuk segera mengeluarkan surat pelepasan atau penanggalan wilayah.
“Kita menghubungi DPRD Bengkalis, ya, mengancam juga kalau surat itu tidak dikeluarkan, kita akan demo besar-besaran ke Bengkalis, akhirnya surat itu dikeluarkan juga,” tersenyum.
Sebelumnya, perjuangan ini dilakukan melalui hak inisiatif DPR RI dan Komisi II. Akan tetapi, lanjutnya Umar menambahkan, hak itu tidak dijadikan digunakan tetapi melalui Depagri. Namun, ada beberapa wakil rakyat di Senayan masuk ke dalam tim mengodok konsep atau draff perubahan status kotif ke kodya, yang pada akhirnya dituangkan dalam perundang-undangan.
Menariknya, saat perjuangan di mulai KRMD mengutus beberapa orangnya asal Rupat, agar wilayah itu ikut berjuang dan menjadi bagian Dumai, karena kedekatan geografis, disamping sejarah. Namun, sebut Umar, ajakan itu kurang direspons. Pria yang pernah berkecimpung di berbagai organisasi menduga, salah satu penyebabnya mereka kurang yakin apa mungkin status Dumai bisa menarik. Bahkan, tambah Umar, saat itu konsep perubahan status Dumai yang dibawa ke Jakarta ada dua versi.
“pertama tanpa Rupat, dan kedua masuk. Namun, saat itu kita sepakat masuk atau tidaknya wilayah itu ke Dumai perjuangan harus tetap jalan,” pungkasnya.
Sering dengan adanya SK Gubri tertanggal 26 November, No : KPTS. 541/XI/1998 tentang pembentukan tim peningkatan status kotif Dumai menjadi Kodya, pada hari yang sama KRMD melalui suratnya No. 20/KRMD/XI/1998 tertanggal 10 November melayangkan surat yang bunyinya, meminta pertemuan dengan Mendagri – Kamis 26 November 1998 sehari sesudahnya bertemu dengan Presiden RI yang saat itu dijabat BJ. Habibi.
Daftar Nama-Nama Anggota KRMD yang akan menghadap Mendagri dan Presiden RI (berdasarkan surat No. 20/KRMD/XI/1998 tertanggal 10 November).
No | Nama | Unsure |
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 | Drs. H. Umar Umayah BSc Drs Zulkifli Ahad H. Nizam Munadi Sag Drs. Junaidi Ahmad Martulius SE Khaidir Indra, SE Ahmad Joni Marzainur, SH Drs. Arminsar Drs. Hamzamar Ir. M. Hasbi Guruh Somali Dr. HA Hannie AC Drs. Robert RH Situmeang Edwin Malik H. Muhammad Lahmuddin Drs. Nahar Effendi Suroso HP Marjohan Zulkiffli Abbas Harun A Hamid Nurbai Tanjung H. Syarwani KN J. Harianto Timo Kipda Suseto | Koordinator Ketua DPRD AMPI MDI Pemuda Cendikiawan AMPI FKKPI KNPI LSM LSM Tokoh Masyarakat Tionghoa Tokoh Masyarakat Semuatera Barat Tokoh Masyarakat Sumatera Utara Tokoh Masyarakat Tapanuli Selatan Tokoh Masyarakat Melayu Tokoh Kampus Tokoh Masyarakat Jawa Senat Mahasiswa Tokoh PDI Tokoh Golkar PPM Tokoh MUI MKGR KNPI Pers |
Akhirnya, pemerintah pusat dan DPR RI menggolkan keinginan masyarakat Dumai untuk merubah statusnya dari Kotif menjadi Kodya, melalui UU No. 16 tahun 1999 tentang pembentukan Kodya daerah Tingkat II Dumai – Pasal 2, tepat tanggal 20 April tahun yang sama UU ini ditandatangani Presiden Bj Habibi, dan seminggu kemudian tanggal 27 April, Zainudin Abdullah dilantik menjadi Walikota Dumai di Jakarta.
Nama-nama Pejabat Walikota Dumai, Sejak Tahun 1979 sampai 2005
A. Walikota Administratif Masa Periode
1. Drs. H. Wan Dahlan Ibrahim 1979 – 1983
2. Drs. H. Rusli Idar 1983 – 1985
3. H. Fadlah Sulaiman SH 1985 – 1990
4. Drs. H. Azwin Yakub 1990 – 1994
5. Drs. Zainuddin Abdullah 1994 – 1999
B. Walikota (Kodya / Kota)
1. Drs. Zainuddin Abdullah – 1999 – 2000
2. Drs. H. Wan Syamsir Yus 2000 – 2005
3. Ir. Hasrun Effendi MT 2005 (status Penjabat (Pjt))
4. Drs. H. Zulkiffli AS 2005 – 2010
Namun menurut Umar Umayah wacana Dumai menjadi Kotif bukan barang bau. Jauh-jauh hari, tepatnya tahun 1966 di era gubernur Arifin Ahmad wacana atau pencanangan Dumai menjadi Kotif sudah dicanangkan. Ketika itu, pemerintahan di Dumai (setingkat kecamatan, red) dibawah Tengku Musdoha.
Akan tetapi, wacana Kotif baru terealisasi pada tahun 1979 dengan walikota pertamanya Drs. H. Wan Dahlan Ibrahim, tak tanggung-tanggung memakan waktu 33 tahun. Ini tidak terlepas dari kondisi politik masa itu yang sentralistik, notabene pemekeran sebuah daerah sulit diimplementasikan. Sedangkan, dari Kotif hingga berubah status menjadi kotamadya (Kodya) Dumai telah dijabat oleh orang sembilan walikota. Artinya membutuhkan waktu 20 tahun.
“Sewaktu saya menjadi anggota DPRD hal ini sering kita singgung. Namun, saat itu gubernur sebelum era reformasi Cuma menjawab ; ‘nanti – nanti’ kita bentuk. Mungkin Cuma mau menyenangkan hati saja,” ujar Umar Umayah.
Terkait adanya polemik seputar hari jadi Kota Dumai, baik Umar Umayah dan Tengku Khaidir berpendapat sama, yaitu tanggal 27 April, karena pemerintahan Kodya Dumai yang diemban walikota secara resmi dilantik. Mereka juga kompak, kalau ingin mengetahui secara komperhensif maka tidak akan salahnya dilakukan seminar dengan mengundang tokoh masyarakat, sejarahwan dan kalangan akademis.
“yang kita peringati sekarang adalah berdirinya Dumai sebagai Kodya pemerintah – Sumatera. Kapan HUT Dumai sebagai kota menyakut eksistensi, red maka diperlukan seminar, bisa saja usianya ratusan tahun seperti beberapa kota lainnya ditanah air,” pungkasnya, ah, rasanya perlu juga.
Kronologis yang Bersejarah :
1. KRML menyurati Mendagri tertanggal 10 November, minta untuk bertemu dengannya Kamis, 26 / 11 dan Presiden RI sehari sesudahnya, 27 / 11 / 98, rombongan KRMD berjumlah 25 orang.
2. Gubri H. Saleh Djasit mengeluarkan SK No : KPTS. 541 / XI/1999 tertanggal 26 November 1999 membentuk tim persiapan peningkatan status Kotif Dumai menjadi Kodya.
3. Tanggal 2 April 1999 UU No. 16 tentang pembentukan Kodya Dumai ditandantangani Presiden RI BJ Habibi
Tanggal 27 April Drs Zainudin Abdullah menjadi Walikota Kodya Dumai
0 komentar:
Posting Komentar