PENDIDIKAN TEORI TRANSFORMATIF
Pendahuluan
Potret pendidikan di
Mengapa peduli pada pendidikan? Banyak orang menyebut bahwa antara pendidikan dan perubahan sosial adalah dua hal yang saling terkait dan mempengaruhi. Suatu perubahan kiranya sulit akan terjadi tanpa diawali pendidikan, begitu pula pendidikan yang transformatif tak akan pula terwujud bila tidak didahului dengan perubahan, utamanya, paradigma yang mendasarinya. Bahkan, ada pula yang berpendapat bahwa menyebut perubahan sosial dan pendidikan yang transformatif ibarat menyebut sesuatu dalam satu tarikan nafas: pendidikan taranformatif adalah perubahan sosial dan perubahan sosial adalah pendidikan transformatif. Sungguhkah? Biar lebih jelas, mari kita uraikan bersama.
Perubahan sosial tentu membutuhkan aktor-aktor yang mempunyai pengetahuan, kemampuan, komitmen, serta kesadaran akan diri dan posisi strukturalnya. Untuk itu perlu tersedianya suatu media dimana ide-ide, nilai-nilai maupun ideologi, yang tentunya kontra ideologi hegemonik, ditransmisikan kepada para pelaku perubahan sosial.
Paulo Freire, pemikir dan aktivis Pendidikan Kritis, mempunyai pendapati cemerlang perihal pendidikan dan kaitannya dengan perubahan sosial[1]. Dalam bentuknya yang paling ideal, menurut Freire, pendidikan membangkitkan kesadaran (conscientizacao) diri manusia sebagai subjek. Dengan kesadaran sebagai subjek tersebut manusia dapat memerankan liberative action. Kesadaran ini secara komunal akhirnya membentuk kesadaran sosial. Dengan kesadaran sosial yang dibangun diatas basis relasi intersubjektif rakyat dapat memainkan peranan dalam rekonstruksi tatanan sosial baru yang lebih demokratis. Tatanan sosial yang demokratis ini menurutnya kondusif bagi humanisme dan pembebasan.
Beranjak dari signifikansi utama pendidikan diatas, tulisan ini disajikan dengan semangat untuk melakukan kritisasi terhadap dunia pendidikan, utamanya di
Potret Buram Pendidikan
Alkisah, ada sekelompok siswa sebuah SMU di
Pernahkah Anda merasa betapa sekolah demikian membosankan atau bahkan menakutkan? Suatu ketika, di hari senin pada jam pertama, jantung Toni berdebar kencang. Ini disebabkan PR bahasa-nya yang belum juga selesai meski sudah tiga hari dikerjakan. Sejenak terbayang betapa akan malunya Ia terkena marah bapak guru di depan kelas. Sebenarnya, sejak minggu lalu Toni ingin bertanya tentang soal yang satu itu.
Ilustrasi diatas bukan sebatas rekaan belaka. Diantara kita banyak yang pernah mengalami masalah semacam itu. Sekolah yang kita bayangkan sebagai 'kabin' belajar, bermain, berteman, mengembangkan potensi dst., malah menjadi sumber kesusahan dan kegelisahan. Ditambah lagi guru yang otoriter, metode pengajaran yang monoton dan membelenggu, tidak up to date, begini dilarang, begitu dilarang, dsb., kian membuat peserta didik tidak bebas mengembangkan potensi, dan akhirnya hanya menjadi pengikut semua ujar guru yang kurang kreatif sekaligus miskin daya kritis.
Kalau dilihat lebih cermat, pendidikan yang membelenggu itu merupakan tipikal sistem pendidikan negara jajahan. Sejak zaman kolonial Belanda, upaya-upaya yang mencegah tumbuhnya kecerdasan untuk berpikir bebas, daya kritis terhadap realitas, yang berujung pada kesadaran terhadap posisi diri di struktur sosial, memang di-setting secara sistematis. Tujuannya jelas yakni, menjaga agar masyarakat di Hindia Belanda tetap bodoh, tidak 'sadar diri' sehingga kekuasaan kolonial tidak terancam.
Sistem pendidikan dengan sendirinya menjadi instrumen untuk melanggengkan kekuasaan. Pendidikan hanya semata-mata memasukkan peserta didik kedalam sistem yang sudah ada: mencetak dokter, akuntan, teknisi, ahli hukum dst., yang loyal terhadap penguasa. Nilai-nilai, ide-ide, preferensi, yang ditransmisikan melalui institusi pendidikan dengan sendirinya ditujukan untuk membentuk kesadaran yang menafsirkan penindasan terhadapnya sebagai hal yang wajar, serta benar baik secara ideologis maupun kultural.[2]
Sayangnya, model pendidikan seperti ini tetap berlangsung hingga sekarang. Dalam konteks kekinian dimana penjajahan tidak lagi menemui bentuknya yang paling primitif, pendidikan di
Tiga Paradigma Pendidikan
Secara konseptual, ada tiga paradigma[3] pendidikan yang dapat memberi peta pemahaman mengenai paradigma apa yang menjadi pijakan penyelenggaraan pendidikan di
Pertama, paradigma konservatif. Paradigma ini berangkat dari asumsi bahwa ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu keharusan alami, mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah suatu yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Pada dasarnya masyarakat tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengarhui perubahan sosial, hanya Tuhan lah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya dia yang tahu makna dibalik itu semua.
Dengan pandangan seperti itu, kaum konservatif tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka. Mereka yang menderita, yakni orang orang miskin, buta huruf, kaum tertindas dan mereka yang dipenjara, menjadi demikian karena salah mereka sendiri. Karena toh banyak orang yang bisa bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu. Banyak orang bersekolah dan belajar untuk berperilaku baik dan oleh karenanya tidak dipenjara. Kaum miskin haruslah sabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka datang, karena akhirnya semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan kelak. Paham konservatif hanya melihat pentingnya harmoni serta menghindarkan konflik dan kontradiksi.
Sebagian besar penyelenggaraan sekolah yang dikelola oleh kaum tradisionalis berangkat dari paradigma konservatif ini. Penyelenggaraan sekolah atau madrasah dalam perspektif dan paradigma konservatif memang terisolasi dari persoalan persoalan kelas maupun gender ataupun persoalan ketidak adilan di masyarakat. Kurikulum sekolah secara jelas bagi kaum konservatif juga tidak ada kaitannya dengan sistem dan struktur sosial diluar sekolah, seperti sistem kapitalisme yang tidak adil
Kedua, paradigma pendidikan Liberal. Kaum Liberal, mengakui bahwa memang ada masalah di masyarakat. Namun bagi mereka pendidikan sama sekali steril dari persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Tugas pendidikan cuma menyiapkan murid untuk masuk dalam sistem yang ada. Sistem diibaratkan sebuah tubuh manusia yang senantiasa berjalan harmonis dan penuh keteraturan (functionalism structural)[5]. Kalaupun terjadi distorsi maka yang perlu diperbaiki adalah individu yang menjadi bagian dari sistem dan bukan sistem.
Pendidikan dalam perspektif liberal menjadi sarana untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar agar stabil dan berfungsi secara baik dimasyarakat. Oleh karena itu masalah perbaikan dalam dunia pendidikan bagi mereka sebatas usaha reformasi 'kosmetik' seperti perlunya: membangun gedung baru, memoderenkan sekolah; komputerisasi; menyehatkan rasio murid-guru, metode pengajaran yang effisien seperti dynamics group, learning by doing, experimental learning dan sebagainya. Hal-hal tersebut terisolasi dengan struktur kelas dan gender dalam masyarakat.
Akar dari pendidikan semacam dapat ditelusuri dari pijakan filosofisnya yakni, paham liberalisme, suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedoms), serta proses perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang.
Ketiga, adalah paradigma pendidikan kritis. Pendidikan bagi paradigma kritis merupakan arena perjuangan politik. Jika bagi kaum konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal ditujukan untuk perubahan moderat dan acapkali juga pro status quo, maka bagi penganut paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam tatanan politik ekonomi masyarakat dimana pendidikan berada. Dalam perspektif ini, pendidikan harus mampu membuka wawasan dan cakrawala berpikir baik pendidik maupun peserta didik, menciptakan ruang bagi peserta didik untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis diri dan struktur dunianya dalam rangka transformasi sosial.
Perspektif ini tentu mempunyai beberapa syarat. Baik guru maupun peserta didik mesti berada dalam posisi yang egaliter dan tidak saling mensubordinasi. Masing-masing pihak, mesti berangkat dari pemahaman bahwa masing-masing mempunyai pengalaman dan pengetahuan. Sehingga yang perlu dilakukan adalah dialog, saling menawarkan apa yang mereka mengerti dan bukan menghafal, menumpuk pengetahuan namun terasing dari realitas sosial (banking system).
Hasil Pendidikan Nasional:
Kemacetan Transformasi Sosial ?
Dari pemetaan diatas, sistem pendidikan di
Dewasa ini, ketika dunia didera gelombang globalisasi, pendidikan kian bergeser dari status dan fungsi awalnya. Pendidikan mau tidak mau dipaksa tereduksi hanya sebagai komoditas dan harus terbingkai dalam logika pasar.
Lebih parah lagi, pendidikan kita sulit dibedakan dengan pelatihan atau trainning. Metode searah sulit dipungkiri memupus kreatifitas peserta didik dalam mengembangkan corak berpikir bebas. Sekedar contoh, saat SD kita acapkali diberi pertanyaan dimaan kita hanya perlu memberi satu kata sebagai jawaban. Misalnya begini, "Pak Tani disawah sedang…". Untuk menjawab pertanyaan ini murid SD tidak punya banyak pilihan. Guru secara sepihak akan menyalahkan bila isinya bukan mencangkul, memupuk, atau memanen. Padahal, dalam sistem yang demokratis seorang murid bisa mengisinya dengan misalnya, membaca koran (karena sedang istirahat), melakukan rembug mengenai irigasi dsb.
Dalam Magnum Opus-nya Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (1962), ilmuan bukanlah para penjelajah berwatak pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip para pemecah teka-teki yang bekerja dalam pandangan dunia yang telah mapan. Mereka menjadi sangat sensitif dan kehilangan kearifan dengan mencap kritik terhadap ilmu adalah 'omong kosong'; serta menggambarkan para pengritik ilmu sebagai para 'pembual'. Dengan kata lain, para ilmuan telah menjadi aparat status quo dari ideologi hegemonik.
Menuju Pendidikan Transformatif
Rangkaian persoalan pelik diatas telah menggiring dunia pendidikan kita menuju kerusakan sistemik. Namun bukan berarti menjadi sah bagi kita untuk bersikap apatis. Dan, lagi-lagi kita harus kembali belajar bersama Freire perihal pendidikan yang membebaskan, kritis dan transformatif. Mengurai benang merah yang terlanjur jalin berkelindan tak tentu ujung-pangkalnya, Freire menekankan pentimgmya pengharapan (hope) dan impian (dream). Dua hal ini jelas bukan sebagai ekstase yang penuh ilusi dan tipu daya.
Karena mimpi dan harapan memberi kita energi untuk mewujudkan dunia yang lebih baik. Tak ada perubahan tanpa impian, begitu pula tak ada impian tanpa harapan. Hanya saja harapan dan impian harus ditindak lanjuti dengan aktualisasi, sehingga kekhawatiran akan efek ekstase tadi tidak terjadi dan berlanjut. Ke depan, terbentang pekerjaan rumah yang luar biasa berat. Perubahan baik mengenai kurikulum, perangkat aturan legal, maupun pergeseran paradigma yang sepertinya tidak bisa ditolak jika menginginkan perubahan yang substantif, tidak sekadar 'kosmetik' ingin diwujudkan.
Teori Transformatif Hubungannya dengan Konteks
Dalam konteks Islam,
1. Iman sebagai realisasi ketauhidan manusia memiliki implikasi dan konsekuensi terhadap penegakan nilai-nilai moral yang tinggi dan mulia. Penumbuhkembangan perilaku moral manusia selalu berkenaan dengan sejauh mana ia menyadari, bahwa perilaku itu harus ia lakukan. Kesadaran dalam hal ini adalah bukti nyata dari sebuah keyakinan mendalam seseorang atas sesuatu yang dalam bahasa agama disebut dengan iman. Manusia yang menyadari bahwa dirinya, alam jagad raya dan Tuhannya merupakan tiga bagian yang tidak dapat dilupakan begitu saja dalam segala aktivitas kehidupannya, akan selalu mengorientasikan diri dan perilaku pada keinginan Tuhannya.
2. Ikhlas segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan demikian, bahwa manusia tauhid akan selalu mengorientasikan tindakan-tindakannya baik bagi dirinya, masyarakat maupun alam jagad raya, pada pendekatan diri dengan Penciptanya. Dalam konteks inilah, dapat dikatakan, bahwa manusia tauhid tidak akan pernah melupakan fungsi eksistensialitas dirinya sebagai mu’abbid, khalifah Allah SWT fi al-ardh dan ‘immarah fi al-ardh seperti telah diungkap sebelumnya.
Mengingat tauhid merupakan dasar bagi pemunculan sikap tanpa pamrih sebagai identitas yang menunjuk pada moralitas, maka pengupayaan moralitas mestilah pula diawali dengan penanaman nilai-nilai ketauhidan ini. Hanya dengan cara demikian, maka perilaku moral yang diinginkan oleh Allah SWT sebagai “personal” yang diwakili dapat ditumbuhkembangkan dengan baik.
Manusia tauhid, tidak akan pernah memiliki keinginan apalagi melakukan segala sesuatu yang berseberangan dengan keyakinan tauhid yang ia miliki. Dalam pengertian lain dapat diungkapkan, bhawa manusia tauhid adalah manusia yang dalam segala aktivitasnya selalu menampilkan perilaku moral yang didasari pada nilai-nilai keIllahian. Allah SWT, tidak hanya sebagai orientasi kehidupannya, tetapi juga sebagai “personal” yang diwakilinya di dunia ini, segala tindakannya selalu hendak mengaplikasikan sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya.
Kedua hal di atas, manusia tauhid pun selalu menginginkan sesuatu yang benar dan senantiasa menegakkan kebenaran dalam konteks ini Allah SWT berfirman dalam surah al-Isra’ ayat 36 yang maknanya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya”.
Hubungan Teori Transformatif dengan Nilai
Nilai sebagai suatu yang lebih diinginkan harus dibedakan dengan yang hanya ‘diinginkan’, di mana ‘lebih diinginkan’ mempengaruhi seleksi berbagai modus tingkah laku yang mungkin dilakukan individu dan mempengaruhi pemilihan tujuan akhir tingkah laku (Kluckhohn dalam Rokeach, 1973). “Lebih diinginkan” ini memiliki pengaruh lebih besar dalam mengarahkan tingkah laku, dan dengan demikian maka nilai menjadi tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.
Sebagaimana terbentuknya, nilai juga mempunyai karakteristik tertentu untuk berubah. Karena nilai diperoleh dengan cara terpisah, yaitu dihasilkan oleh pengalaman budaya, masyarakat dan pribadi yang tertuang dalam struktur psikologis individu (Danandjaja, 1985), maka nilai menjadi tahan lama dan stabil (Rokeach, 1973). Jadi nilai memiliki kecenderungan untuk menetap, walaupun masih mungkin berubah oleh hal-hal tertentu. Salah satunya adalah bila terjadi perubahan system nilai budaya di mana individu tersebut menetap (Danandjaja, 1985).
Lebih lanjut Schwartz (1994) juga menjelaskan bahwa nilai adalah :
1) Suatu keyakinan,
2) Berkaitan dengan cara bertingkah laku atau tujuan akhir tertentu
3) Melampaui situasi spesifik
4) Menarahkan seleksi atau evaluasi terhadap tingkah laku individu, dan kejadian-kejadian, serta
5) Tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, terlihat kesamaan pemahaman tentang nilai, yaitu :
1) Suatu keyakinan
2) Berhubungan dengan cara bertingkah laku dan tujuan akhir tertentu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya.
Pemahaman tentang nilai tidak terlepas dari pemahaman tentang bagaimana nilai itu terbentuk. Schwartz berpandangan bahwa nilai merupakan representasi kognitif dari tiga tipe persyaratan hidup manusia yang universal, yaitu :
1. Kebutuhan individu sebagai organisasi biologis
2. Persyaratan interaksi social yang membutuhkan koordinasi interpersonal
3. Tuntutan institusi social untuk mencapai kesejahteraan kelompok
Teori Transformatif Hubungannya dengan Kepemimpinan Kependidikan
Pemimpin pada hakikatnya adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dalam menggunakan kekuasaan.
Dalam kegiatannya bahwa pemimpin memiliki kekuasaan untuk mengerahkan dan mempengaruhi bawahannya sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Pada tahap pemberian tugas pemimpin harus memberikan suara arahan dan bimbingan yang jelas, agar bawahannya dalam melaksanakan tugasnya dapat dengan mudah dan hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Dengan demikian kepemimpinan mencakup distribusi kekuasaan yang tidak sama diantara pemimpin dan anggotanya. Pemimpin mempunyai wewenang untuk mengarahkan anggota dan juga dapat memberikan pengaruh, dengan kata lain pemimpin tidak hanya dapat memerintah bawahan apa yang harus dilakukan, tetapi juga dapat mempengaruhi bagaimana bawahan melaksanakan perintahnya. Sehingga terjalin suatu hubungan sosial yang saling berinteraksi antara pemimpin dan bawahannya, yang akhirnya terjadi suatu hubungan timbal balik oleh sebab itu bahwa pemimpin diharapkan memiliki kemampuan dalam menjalankan kepemimpinannya, karena apabila tidak memiliki kemampuan untuk memimpin, maka tujuan yang ingin dicapai tidak akan terwujud dengan maksimal.apalagi dibidang kependidikan pada khususnya .
KESIMPULAN
Teori transfarmatif saling tekait dan mendukung dengan konteks, nilai, dan kepemimpinan kependidikan untuk mewujudkan suatu perubahan masyarakat social dan bangsa khususnya dalam bidang pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dikutip dari Agustinus Mintara, Sekolah atau Penjara, Basis edisi Paulo Freire, No.01-02 Tahun Ke-50, Januari-Febuari 2001
2. David Marsh and Gerry Stoker, Theories And Methods in Political Science, MacMillan Press Ltd., 1995
3. Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Tiara Wacana,
4. Dilema Paradigma Pendidikan, Sumber, Kompilasi Makalah Terpilih, Litbang Bulaksumur Pos 1999-2000
5. Suwarsono & Alvin Y. So, Perubahan Sosial dan Pembangunan, LP3ES,
[1] Dikutip dari Agustinus Mintara, Sekolah atau Penjara, Basis edisi Paulo Freire, No.01-02 Tahun Ke-50, Januari-Febuari 2001
[2] David Marsh and Gerry Stoker, Theories And Methods in Political Science, MacMillan Press Ltd., 1995
[3] Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Tiara Wacana,
[4] Dilema Paradigma Pendidikan, Sumber, Kompilasi Makalah Terpilih, Litbang Bulaksumur Pos 1999-2000
[5] Suwarsono & Alvin Y. So, Perubahan Sosial dan Pembangunan, LP3ES,
0 komentar:
Posting Komentar