KI HAJAR DEWANTARA (1889-1959)
Pahlawan Kemerdekaan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959
tanggal 28 Nopember 1959)
R.M. Suwardi Suryaningrat, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara, lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Sesudah menamatkan sekolah Dasar, ia melanjutkan pelajaran ke STOVIA di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai. Sesudah itu, ia bekerja sebagai wartawan, membantu beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, dan Utusan Hindia. Bersama Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo, pada tanggal 25 Desember 1912 ia mendirikan Indische Partij yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Pada tahun 1913 ia ikut membentuk Komite Bumiputera. Melalui komite itu dilancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis. Karangannya yang berjudul Als Ik een Nederlander was (seandainya aku seorang belanda), berisi sindiran dan kecaman yang pedas. Akibatnya, pada bulan Agustus 1913 ia dibuang ke negeri Belanda. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga ia berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Setelah kembali ke tanah air pada tahun 1918, ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan. Pada tanggal 3 Juli 1922 didirikannya Taman Siswa, sebuah perguruan yang bercorak nasional. Kepada anak didik ditanamkan rasa kebangsaan agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Banyak rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa, antara lain adanya Ordonansi Sekolah Liar yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda. Tetapi, berkat perjuangan Ki Hajar Dewantara, ordonansi itu dicabut kembali.
Pada masa Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan Ki Hajar Dewantara. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (putera) pada tahun 1943, ia duduk sebagai salah seorang pemimpinnya di samping Ir. Sukarno, Drs. Muhammad Hatta, dan K.H. Mas Mansur. Jabatan yang pernah dipegangnya setelah Indonesia merdeka ialah Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan pendiri Taman Siswa. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani, ing wadya mangun karsa, ingarsa sungtulada, artinya di belakang memberi dorongan, di tengah memberi teladan. Ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Hari lahir Ki Hajar Dewantara, tanggal 2 Mei, diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional.
R.M. SURYOPRANOTO (1871-1959)
Pahlawan Kemerdekaan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 310 Tahun 1959
tanggal 30 Nopember 1959)
Suryopranoto lahir di Yogyakarta pada tahun 1871. Setelah memperoleh ijazah pendidikan pegawai negeri, ia bekerja di bidang pemerintahan, tetapi seringkali bertengkar dengan atasannya, orang Belanda. Pendidikan lain yang ditempuh ialah Sekolah Pertanian di Bogor. Sesudah itu, ia diangkat menjadi Kepala Dinas Pertanian di Wonosobo. Pada tahun 1914 ia minta berhenti sebagai protes atas pemecatan seorang pegawai yang menjadi anggota Sarekat Islam. Selanjutnya, ia tidak mau lagi bekerja sebagai pegawai Pemerintah Belanda.
Suryopranoto sangat memperhatikan nasib kaum tani buruh di perkebunan-perkebunan tebu di Yogyakarta. Untuk membantu mereka, pada tahun 1914 didirikannya organisasi Adhi Dharma yang bergerak di bidang koperasi, usaha pertukangan, dan sebagainya. Selain itu, didirikannya pula sekolah Adhi Dharma untuk mendidik anak-anak petani-buruh. Tuntutan-tuntutan yang dilancarkannya agar para majikan menaikkan upah buruh dan memberikan jaminan sosial yang layak, dianggap revolusioner. Karena itu, ia dihalang-halangi berbicara di depan para buruh dan tani, bahkan pengusaha Belanda bersedia memberi uang asal ia mau menghentikan kegiatannya.
Dalam Sarekat Islam, Suryopranoto menduduki jabatan sebagai Pengurus Besar. Selain itu, ia juga menjadi pemimpin kaum buruh yang tergabung dalam Personeel Fabrieks Bond (PFB). Dalam Kongres Sarekat Islam tahun 1919, ia menganjurkan pemogokan sebagai kekuatan buruh untuk menuntut perbaikan nasib. Pada tahun 1922 terjadi pemogokan kaum buruh pegadaian di Yogyakarta dan kemudian menjalar ke tempat-tempat lain. Ribuan buruh dipecat akibat pemogokan itu. Suryopranoto mendirikan sebuah badan untuk menolong keluarga buruh yang terkena pemecatan itu.
Karena kegiatan-kegiatan itu, tiga kali ia harus masuk penjara, tahun 1923 di penjara Malang, tahun 1926 di Semarang, dan tahun 1933 di Sukamiskin, Bandung. Kegiatan lain ialah bidang kewartawanan. Hasil karyanya berupa seni ensiklopedi tentang perjuangan sosialisme, disita dan dilarang beredar oleh Pemerintah Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang, Suryopranoto menolak bekerjasama dengan pemerintah Jepang. Sesudah Indonesia merdeka ia menyumbangkan tenaga di bidang pendidikan. Ia meninggal dunia pada tahun 15 Oktober 1959 di Cimahi, Jawa Barat dan dimakamkan di Kota Gede, Yogyakarta.
MUHAMMAD HUSNI THAMRIN (1894-1941)
Pahlawan Kemerdekaan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 175 Tahun 1960
tanggal 28 Juli 1960)
Muhammad Husni Thamrin lahir di Jakarta pada tanggal 16 Februari 1894. Setelah menamatkan HBS (Setingkat Sekolah Menengah Umum), ia bekerja di kantor kepatihan, kemudian di kantor Residen, dan akhirnya di perusahaan pelayaran Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Pada tahun 1919 Thamrin diangkat menjadi anggota Dewan Kota Batavia (Jakarta). Empat tahun kemudian ia mendirikan Persatuan Kaum Betawi yang bertujuan memajukan pendidikan, perdagangan, kerajinan, dan kesehatan untuk penduduk Jakarta.
Dalam Dewan Kota Thamrin mempunyai pengaruh yang besar. Karena dianggap mampu, ia diangkat menjadi Wakil Wali Kota, tetapi hal itu tidak mencegahnya untuk mengecam tindakan Pemerintah Belanda yang menindas rakyat. Pada tahun 1927 ia diangkat menjadi anggota Volksraad dan kemudian membentuk Fraksi Nasional untuk memperkuat kedudukan golongan nasionalis dalam dewan tersebut. Bersama Kusumo Utoyo, ia mengadakan peninjauan ke Sumatera Timur untuk menyelidiki nasib buruh perkebunan yang sangat menderita akibat adanya poenale sanctie. Tindakan pengusaha perkebunan yang sewenang-wenang terhadap buruh, dibebeerkannya dalam pidatonya di Volksraad, pidato itu berpengaruh di luar negeri. Di Amerika Serikat timbul kampanye untuk tidak membelit embakau Deli. Akibatnya, Poenale sanctie diperlunak dan akhirnya dihapuskan sama sekali.
Patrai politik yang dimasuki Thamrin ialah Partai Indonesia Raya (Parindra). Setelah dr. Sutomo meninggal dunia, Thamrin diangkat menjadi ketua Parindra. Sementara itu, perjuangan dalam Volksraad tetap dilanjutkan. Pada tahun 1939 ia mengajukan mosi agar istilah Nederlands Inddie, Nederland Indische dan Inlander diganti dengan istilah Indonesia, Indonesisch, dan Indonesier. Mosi itu ditolak oleh Pemerintah Belanda walaupun mendapat dukungan sebagian besar anggota Volksraad. Sejak itu, rasa tidak senangnya terhadap pemerintah jajahan semakin besar. Akibatnya, pemerintah Belanda mencurigai dan mengawasi tindak-tanduknya. Tanggal 6 Januari 1941 Muhammad Husni Thamrin dikenakan tahanan rumah dengan tuduhan bekerja sama dengan pihak Jepang. Walaupun sedang dalam keadaan sakit, teman-temannya dilarang berkunjung. Tanggal 11 Januari 1941, ia meninggal dunia dan dimakamkan di Pekuburan Karet. Jakarta.
SI SINGAMANGAJARA XII (1849-1907)
Pahlawan Kemerdekaan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 590 Tahun 1961
tanggal 09 Nopember 1961)
Patuan Bosar Ompu Pulo Batu yang lebih dikenal dengan nama Si Singamangaraja XII, lahir di Bakkara, Tapanuli, tahun 1849. Pada tahun 1867 ia diangkat menjadi raja menggantikan ayahnya yang meninggal dunia akibat serangan penyakit kolera. Pada masa pemerintahannya, kekuasaan kolonial Belanda mulai memasuki daerah Tapanuli. Mereka berlindung di balik kegiatan zending yang mengembangkan agama Kristen. Si Singamangajara XII tidak menentang usaha-usaha mengembangkan agama, tetai ia tidak bisa menerima tertanamnya kekuasaan Belanda di wilayah kekuasaannya. Untuk menghadapi segala kemungkinan, ia mengadakan persiapan-persiapan. Pada bulan Pebruari 1878 serangan dilancarkan terhadap pos pasukan Belanda di Bahal Batu, dekat Tarutung. Sesudah itu, pertempuran berkobar di tempat-tempat lain, seperti balige dan Bakkara. Tetapi, karena kekurangan senjata, pasukan Si Singamangajara XII semakin lama semakin terdesak. Bakkara terpaksa ditinggalkannya, dan sejak saat itu perjuangan dilanjutkan di tempat lain. Pada bulan Mei 1883 kedudukan Belanda di Uluan digempur. Begitu pula Balige mendapat serangan yang cukup kuat. Dalam serangan ke Tangga Batu pada tahun 1884, pasukan Belanda berhasil dihancurkan. Karena itu, Belanda melipatgandakan kekuatannya.
Sesudah Bakkara jatuh, Si Singamangaraja XII memindahkan markas ke Lindong. Pada tahun 1889 tempat ini digempur Belanda yang berusaha menangkap Raja Tanah Batak ini hidup atau mati. Tetapi ia berhasil meloloskan diri dari kepungan. Perlawanan dilanjutkan di daerah Sidikalang dan Dairi.
Sejak tahun 1904 Belanda melakukan pengepungan yang ketat. Tiga tahun berikutnya Si Singamangaraja XII berhasil meloloskan diri dari kepungan demi kepungan. Berkali-kalipula pasukan Belanda tertipu. Akhirnya, Belanda mengetahui juga tempat persembunyiannya, yakni di hutan di daerah Simsim. Pada tahun 17 Juni 1907 tempat itu dikepung oleh pasukan Belanda. Komandan pasukan Belanda meminta supaya Si Singamangaraja XII menyerah, tetapi permintaan itu ditolaknya. Pertempuran dilanjutkan. Si Singamangaraja XII gugur dalam pertempuran itu. Jenazahnya mula-mula dimakamkan di Tarutang, kemudian dipindahkan ke Balige dan akhirnya ke Pulau Samosir.
DOKTER SUTOMO (1888-1938)
Pahlawan Kemerdekaan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 657 Tahun 1961
tanggal 27 Desember 1961)
Subroto yang kemudian berganti nama menjadi Sutomo lahir di desa Ngepeh, Jawa Timur, pada tanggal 30 Juli 1888. Pada waktu belajar di STOVIA (Sekolah Dokter) ia sering bertukar pikiran dengan pelajar-pelajar lain tentang penderitaan rakyat akibat penjajahan Belanda. Terkesan oleh saran dr. Wahidin untuk memajukan pendidikan sebagai jalan untuk membebaskan bangsa dari penjajahan, pada tanggal 20 Mei 1908 para pelajar STOVIA mendirikan Budi Utomo, organisasi modern pertama yang lahir di Indonesia. Sutomo diangkat sebagai ketuanya. Tujuan organisasi itu ialah memajukan pengajaran dan kebudayaan.
Setelah lulus dari STOVIA tahun 1911, Sutomo bertugas sebagai dokter, mula-mula di Semarang, sesudah itu dipindahkan ke Tuban. Dari Tuban dipindahkan ke Lubuk Pakam (Sumatera Timur) dan akhirnya ke Malang. Waktu bertugas di Malang, ia membasmi wabah pes yang melanda daerah Magetan. Sering berpindah tempat itu ternyata membawa manfaat. Ia semakin banyak mengetahui kesengsaraan rakyat dan secara langsung dapat membantu mereka. Sebagai dokter, Sutomo tidak menetapkan tarif. Adakalanya pasien dibebaskan dari pembayaran.
Kesempatan memperdalam pengetahuan di negeri Belanda diperoleh dr. Sutomo pada tahun 1919. Setibanya kembali di tanah air, ia melihat kelemahan yang ada pada budi Utomo. Waktu itu sudah banyak berdiri partai politik. Karena itu, di usahakannya agar Budi Utomo bergerak di bidang politik dan keanggotannya terbuka buat seluruh rakyat.
Pada tahun 1924 Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang merupakan wadah bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah tenun, bank kredit, koperasi, dan sebagainya. Pada tahun 1931 ISC berganti nama menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Di bawah pimpinan Sutomo PBI cepat berkembang. Sementara itu, tekanan-tekanan dari Pemerintah Belanda terhadap pergerakan nasional semakin keras. Karena itu, pada bulan Desember 1935 Budi Utomo dan PBI digabungkan menjadi satu dengan nama Partai Indonesia Raya (Parindra). Sutomo diangkat menjadi ketua. Parindra berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.
Selain bergerak di bidang politik dan kedokteran, dr. Sutomo giat pula di bidang kewartawanan dan memimpin beberapa buah surat kabar. Ia meninggal dunia di Surabaya pada tanggal 30 mei 1938 dan dimakamkan di sana.
KYAI HAJI AKHMAD DAHLAN (1868-1923)
Pahlawan Kemerdekaan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 657 Tahun 1961
tanggal 27 Desember 1961)
Muhammad Darwis yang kemudian lebih dikenal dengan nama Kyai Haji Akhmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada tahun 1868. Selain menerima pendidikan agama di pesantren, ia banyak membaca buku ilmu pengetahuan. Dua kali ia ke Mekah dan kesempatan itu dipergunakan untuk memperdalam pengetahuan agama. Ia terperangah oleh cita-cita pembaharuan Islam. Pada waktu itu, umat Islam Indonesia sedang dalam keadaan mundur. Mereka tidak bersatu, dan karena itu menjadi lemah. Ajaran agama banyak dipengaruhi oleh hal-hal yang berbau mistik.
Ahmad Dahlan berusaha memperbaiki keadaan yang buruk itu. Untuk memajukan umat Islam harus dilakukan pembaharuan di bidang praktik keagamaan dan pembaharuan itu harus dimulai dengan car amengadakan perbaikan di bidang kemasyarakatan. Atas dasar keyakinan tersebut, pada tahun 1912 ia mendirikan Muhammadiyah, sebuah organisasi yang bergerak di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui Muhammadiyah, Ahmad Dahlan berusaha memajukan pendidikan Islam dan membangun masyarakat Islam yang sebenarnya. Untuk itu, kegiatan dakwah ditingkatkan. Pelajaran agama diberikan di sekolah-sekolah umum. Sebaliknya, di sekolah-sekolah agama diajarkan pula pengetahuan umum yang pada masa sebelumnya termasuk hal yang dilarang.
Pembaharuan yang dijalankan Akhmad Dahlan pada mulanya mendapat tentangan dari masyarakat. Pada waktu membetulkan arah kiblat di masjid-masjid di Yogyakarta, masyarakat menjadi gempar dan marah. Di masjid besar Yogyakarta ia membuat garis-garis saf menurut yang semestinya. Garis-garis itu dihapus orang dan surau miliknya dibongkar. Waktu mengadakan dakwah di Banyuwangi, ia diancam akan dibunuh, dituduh sebagai kyai palsu sebab berani mengajarkan pengetahuan umum di sekolah agama. Tetapi lama kelamaan, masyarakat menerima perubahan yang diadakannya. Sekolah masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu banyak didirikan. Semua itu adalah hasil perjuangannya melalui Muhammadiyah.
Ia juga memikirkan nasib generasi muda dan berpendapat bahwa ilmu tanpa agama sangat berbahaya bagi kehidupan anak-anak muda. Untuk memajukan kaum wanita, pada tahun 1918 didirikan Aisyiah, selain itu, dibentuk pula kepanduan Hizbul Wathan.
Kyai Haji Akhmad Dahlan meninggal dunia pada tanggal 23 Pebruari 1923 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
HAJI AGUS SALIM (1884-1954)
Pahlawan Kemerdekaan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 657 Tahun 1961
tanggal 27 Desember 1961)
Masyhudul Haq, yang lebih dikenal dengan nama Haji Agus Salim, lahir di Koto Gedang, dekat Bukittinggi, pada tanggal 8 Oktober 1884. Pendidikan di bangku sekolah hanya ditempuh sampai HBS (Setingkat Sekolah Menengah Umum). Sesudah menamatkan HBS tahun 1903, ia belajar sendiri. Tidak kurang dari sembilan bahasa asing yang dikuasainya, antara lain bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Arab, Turki, dan Jepang. Hal itu memungkinkannya membaca bermacam-macam buku ilmu pengetahuan.
Mula-mula Agus Salim bekerja sebagai penerjemah, kemudian sebagai notaries. Dari tahun 1906 sampai 1911, ia bekerja pada Konsulat Belanda di Jedah. Kesempatan itu dipakainya untuk memperdalam pengetahuan tentang agama Islam, sambil mempelajari seluk beluk diplomasi. Kegiatan politik dimulainya setelah memasuki Sarekat Islam (SI) dan diangkat sebagai anggota Pengurus Pusat. Waktu sebagian anggota SI dipengaruhi oleh paham komunis, Agus Salim meminta supaya diadakan disiplin partai. Dengan cara demikian, anggota-anggota yang sudah dipengaruhi komunis dikeluarkan dari SI. Dalam siding-sidang Volksraad, ia berpidato menggunakan bahasa Indonesia, walaupun dicemoohkan oleh orang-orang Belanda. Pada tahun 1929 Sarekat Islam berganti nama menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Setelah Cokroaminoto meninggal dunia tahun 1934, Haji Agus Salim diangkat menjadi ketua PSII. Selain aktif di bidang politik, ia aktif pula di bidang kewartawanan dan memimpin beberapa surat kabar.
Pada masa pendudukan Jepang, Agus Salim duduk sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Islam. Setelah Indonesia merdeka, ia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Karena memiliki pengetahuan yang luas di bidang diplomasi. Pemerintah RI mengangkatnya menjadi Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir I dan Kabinet Syahrir II dan kemudian Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta.
Sesudah Pengakuan Kedaulatan Agus Salim tidak duduk lagi dalam pemerintahan, tetapi buah pikirannya tetap diperlukan oleh pemerintah dank arena itu ditunjuk sebagai penasihat Menteri Luar Negeri.
Agus Salim meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 4 Nopember 1954 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
JENDRAL GATOT SUBROTO (1907-1962)
Tokoh Nasiona;/Pahlawan Kemerdekaan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 222 Tahun 1962
tanggal 18 Juni 1962))
Gatot Subroto lahir di Banyumas pada tahun 1907. Mula-mula ia bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS), tetapi dikeluarkan sebab berkelahi dengan seorang anak Belanda. Karena itu, masuk ke Holands Inlandse School (HIS). Setelah tamat, ia tidak meneruskan ke sekolah yang lebih tinggi, tetapi bekerja sebagai pegawai. Ternyata hal itu tidak cocok dengan jiwanya, dan pada tahun 1923 ia masuk sekolah militer di Magelang.
Selesai pendidikan militer, Gatot menjadi anggota KNIL (Tentara Hindia Belanda), tetapi tidak berarti menjadikaki tangan yang patuh dari alat colonial. Sebaliknya malah, ia sering mendapat teguran dari pihak atasan sebab dianggap terlalu memihak kepada rakyat kecil. Sebagian gajinya di sumbangkan untuk membantu keluarga orang hukuman yang ada di bawah pengawasannya. Sebagai militer, ia bersikap tegas terhadap anak buah yang melanggar disiplin dengan tidak memandang bulu.
Pada masa Pendudukan Jepang Gatot mengikuti pendidikan TEntara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Sesudah itu, ia diangkat menjadi komandan kompi di Sumpyuh, Banyumas, kemudian naik menjadi komandan batalyon. Ia sering menentang orang Jepang yang bertindak kasar terhadap anak buahnya.
Sesudah Indonesia merdeka, Gatot memasuki Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian berkembang menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ia dipercayai memegang beberapa jabatan penting. Pada masa Perang Kemerdekaan (1945-1950), ia pernah menjadi Panglima Divisi II, Panglima Corps Polisi Militer, dan Gubernur Militer Daerah Surakarta dan Sekitarnya. Dalam jabatan terakhir itu ia menghadapi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang meletus pada bulan September 1948. sesudah Pengakuan Kedaulatan, ia diangkat menjadi Panglima Tentara & Teritorium (T&T) IV/Diponegoro. Pada tahun 1953 Gatot Subroto mengundurkan diri dari dinas militer. Tetapi, tiga tahun kemudian ia diaktifkan kembali dan diangkat menjadi Wali Kepala Staf Angkatan Darat.
Letnan Jenderal Gatot Subroto mempunyai perhatian yang besar terhadap perwira muda. Gagasannya untuk menyatukan akademi militer, terwujud dengan terbentuknya Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri), ia meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 11 Juni 1962 dan dimakamkan di desa Mulyoharjo, Ungaran, Yogyakarta.
CUT NYAK DIEN (1950-1908)
Pahlawan Kemerdekaan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 106 Tahun 1964
tanggal 2 Mei 1964)
Cut Nyak Dien lahir di Lampadang. Aceh, pada tahun 1850. Ia dibesarkan dalam suasana memburukannya hubungan antara kerjaan Aceh dan Belanda. Situasi itu berpengaruh terhadap dirinya.
Ia menikah dalam usia muda dengan Teuku Ibrahim Lamnga. Pada bulan Desember 1875, Lampadang diduduki Belanda. Cut Nyak Diem mengungsi ke tempat lain, berpisah dengan suami dan ayahnya yang terus melanjutkan perjuangan. Ibrahim Lamnga tewas dalam pertempuran hanya akan kawin dengan laki-laki yang bersedia membantu untuk menuntut balas kematian suaminya.
Pada tahun 1880 ia menikah untuk kedua kalinya dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Teuku Umar adalah seorang pejuang Aceh terkenal pula dan banyak mendapatkan kerugian kepada pihak Belanda. Pada tahun 1893 Teuu Umar bekerja sama dengan Belanda, sebagai taktik untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Tiga tahun kemudian, ia berbalik memerangi Belanda kembali. Ia gugur dalam pertempuan di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899. sesudah itu, Cut Nyak Dien melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Ia termasuk salah seorang pejuang yang pantang tunduk dan tidak mauberdamai dengan Belanda.
Enam tahun lamanya Cut Nyak Dien bergerilya. Pasukan Belanda berusaha menangkapnya, tetapi tidak berhasil. Lama kelamaan jumlah pasukan semakin berkurang. Bahan makanan sulit diperoleh. Ia semakin tua, mata mulai rabun, dan penyakit encok mulai pula menyerang. Anak buahnya merasa kasihan melihat keadaan yang demikian itu. Atas dasar kasihan itu, Pang Laot, seorang paanglima perang dan kepercayaan Cut Nyak Dien, menghubungi pihak Belanda. Sesudah itu, pasukan Belanda dating untuk menangkapnya.
Sewaktu akan ditangkap, Cut Nyak Dien mencabut rencong. Dan berusaha melwan. Tanyannya dapat dipegang oleh seornag tentara Belanda, lalu ditawan dan dibawa ke Banda Aceh. Tetapi, ia masih saja berhubungan dengan para pejuang yang belum tunduk. Karena itu, ia di buang ke Sumedang, Jawa Barat. Di tempat pembuangan itu ia meninggal dunia pada tanggal 6 Nopember 1908, dan dimakamkan di sana.
CUT NYAK MEUTIA (1870-1910)
Pahlawan Kemerdekaan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 107 Tahun 1964
tanggal 2 Mei 1964)
Cut Nyak Meutia lahir di Perlak, Aceh, pada tahun 1870, tiga tahun sebelum perang Aceh Belanda meletus. Suasana perang itu mempengaruhi perjalanan hidupnya selanjutnya. Waktu masih kecil, ia dipertunangkan dengan Teuku Syam Syarif, tetapi ia lebih tertarik kepada Teuku Muhammad. Akhirnya keduanya menikah Teuku Muhammad adalah seorang pejuang yang lebih terkenal dengan nama Teuku Cik Tunong.
Sekitar tahun 1900 pejuang-pejuang Aceh sudah banyak yang tewas. Gerakan pasukan Belanda sudah sampai ke daerah pedalaman Aceh. Cut Nyak Meutia bersama suaminya memimpin perjuangan gerilya di daerah Pasai. Berkali-kali pasukan mereka berhasil mencegat patroli pasukan Belanda. Markas Belanda di Idie pernah pula diserang. Melalui pihak keluarga, Belanda berusaha membujuk supaya Meutia menyerahkan diri kepada Pemerintah Belanda. Tetapi, bujukan itu tidak berhasil. Ia termasuk pejuang yang pantang tunduk. Pada bulan Mei 1905 Teuku Cik Tunong ditangkap Belanda dan kemudian dijatuhi hukuman tembak. Sesuai dengan pesan Suaminya, Meutia kemudian kawin dengan Pang Nangru, seorang teman akrab dan kepercayaan Teuku Cik Tunong. Bersama suaminya yang baru itu, ia melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Karena kepungan Belanda semakin ketat, mereka masuk jauh lagi ke rimba Pasai, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menghindarkan diri agar jangan sampai tertangkap.
Pada bulan September 1910 Pang Nangru tewas dalam pertempuran di Paya Cicem. Cut Meutia masih dapat meloloskan diri. Beberapa orang teman Pang Nangru kemudian menyerahkan diri kepada Belanda. Meutia dibujuk supaya menyerah pula, tetapi ia tetap menolak. Dengan seornag anaknya berumur sebelas tahun, bernama Raja Sabil, ia berpindah – pindah di pedalaman rimba Pasai. Tempat persembunyiannya akhirnya diketahui juga oleh pasukan Belanda. Pada tanggal 24 Oktober 1910 tempat itu mereka kepung. Cut Nyak Meutia mengadakan perlawanan dengan menggunakan sebilah rencong. Tiga orang tentara Belanda melepaskan tembakan. Sebuah peluru mengenai kepala dan dua buah mengenai dadanya. Ia gugur pada saat itu juga.
RADEN AJENG KARTINI (1879-1904)
Pahlawan Kemerdekaan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964
tanggal 2 Mei 1964)
Raden Ajeng Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah, pada tanggal 21 April 1879. Ia hanya sempat bersekolah sampai Sekolah Dasar. Keinginan untuk melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi tidak diizinkan oleh orang tuanya. Sesuai dengan adat – istiadat yang berlaku pada waktu itu, setelah menamatkan Sekolah Dasar, seornag anak gadis harus menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya untuk menikah. Mereka tidak bebas bergerak, berbeda dengan keadaan kaum pria.
Kartini banyak bergaul dengan orang – orang terpelajar. Kegemaran membaca buku, terutama buku-buku mengenai kemajuan wanita di luar negeri, menyebabkan pikirannya terbuka. Rasa sedih melihat keadaan wanita bangsanya mulai timbul. Mereka jauh tertinggal dibandingkan dengan wanita luar negeri terutama wanita Eropah. Sejak saat itu, timbul keinginan Kartini untuk berjuang memajukan wanita Indonesia. Kemajuan itu dapat dicapai melalui pendidikan.
Ia banyak menulis surat kepada teman-temannya orang Belanda. Dalam surat itu diungkapkannya cita-cita untuk memajukan wanita Indonesia. Ia juga menginginkan adanya persamaan hak dan kewajiban antara kaum wanita dan kaum pria. Kartini sendiri ingin memasuki Sekolah Guru di Negeri Belanda, agar kelak dapat menjadi seorang pendidik. Usaha untuk memperoleh beasiswa dari Pemerintah Belanda berhasil, tetapi pada saat itu pula orangtuanya menentukan bahwa ia harus menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang. Namun sebelum itu, ia sudah berhasil mendirikan sekolah untuk anak gadis di Jepara. Di sekolah itu diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan lain-lain tanpa dipungut bayaran. Setelah menikah, sekolah seperti itu didirikan pula di Rembang. Apa yang dilakukan Kartini dengan sekolah itu, kemudian ditiru oleh wanita-wanita di tempat-tempat lain. Di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan lain-lain bermunculan “Sekolah Kartini”.
Kartini tidak sempat mengenyam hasil usahanya. Ia meninggal dunia dalam usia muda, pada tanggal 17 September 1904, sewaktu melahirkan putra pertama. Surat-suratnya kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Buah pikiran Kartini yang terdapat dalam buku itu sangat besar pengaruhnya dalam mendorong kemajuan wanita Indonesia. Hari lahir Kartini, tanggal 21 April, diperingati setiap tahun sebagai Hari Kartini.
DR. CIPTO MANGUNKUSUMO (1886-1943)
Pahlawan Kemerdekaan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 109 Tahun 1964
tanggal 2 Mei 1964)
Cipto Mangun Kusumo lahir di Pecangakan, dekat Ambarawa tahun 1886. Setelah memperoleh ijazah STOVIA (Sekolah Dokter) di Jakarta, mulailah ia bertugas sebagai dokter pemerintah. Waktu bertugas di Demak, ia banyak menulis karangan yang menceritakan penderitaan rakyat akibat penjajahan Belanda. Karangan-karangan itu dimuat dalam harian De Express. Akibatnya, ia diberhentikan dari jabatan sebagai dokter pemerintah.
Pada tahun 1910 dr. Cipto berhasil membasmi wabah pesyang berjangkit di daerah Malang. Waktu itu banyak dokter bangsa Belanda yang tidak bersedia ditugasi membasmi wabah tersebut. Karena itu, namanya semakin terkenal. Pemerintah Belanda menganugerahkan bntang Orde van Oranye Nassau sebagai penghargaan, tetapi kemudian bintang itu dikembalikannya. Kegiatan di bidang politik semakin meningkat setelah bersama Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat turut mendirikan Indische Partij tahun 1912. Partai itu adalah partai politik pertama yang berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka. Akibat kegiatan dalam Komiter Bumiputera, ia dibuang ke negeri Belanda pada tahun 1913. Komite itu dibentuk untuk memprotes maksud Pemerintah Belanda merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis. Belum sampai setahun, ia sudah kembali ke Indonesia karena serangan penyakit asma. Perjuangan selanjutnya diteruskan Cipto dalam Volksraad, mengkritik Pemerintah Belanda dan membela kepentingan rakyat kecil. Akibatnya, pada thaun 1920 dr. Cipto diperintahkan meninggalkan Solo, tempat ia giat mengembangkan “Kartini Club” selain menjalankan praktik sebagai dokter. Ia tinggal di BAndung sebagai tahanan kota, tetapi kegiatan politiknya tidak terhenti. Rumahnya menjadi tempat berkumpul dan berdebat tokoh-tokoh pergerakan nasional, antara lain Ir. Soekarno. Sekali lagi Pemerintah Belanda bertindak. Pada thaun 1927 dr. cipto Mangunkusumo dibuang ke Banda Neira. Setelah tiga belas tahun tinggal di Banda Neira, ia dipindahkan ke Ujungpandang dan dari sana dipindahkan lagi ke Sukabumi, Jawa Barat. Karena udara Sukabumi tidak cocok untuk penyakit asma, dipindahkan ke Jakarta.
Tanggal 8 Maret 1943 dr. Cipto Mangunkusumo meninggal dunia di Jakarta dan dimakamkan di Watu Ceper, Ambawara. Namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Pusat di Jakarta.
KYAI HAJI MAS MANSUR (1896-1946)
Pahlawan Kemerdekaan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 162 Tahun 1964
tanggal 26 Juni 1964)
Mas Mansur lahir di Surabaya pada tanggal 25 Juni 1896. Ia belajar agama di Mekah dan kemudian di Universitas Al Azhar, Kairo. Selain mendalami pengetahuan agama, ia juga rajin mempelajari pengetahuan Barat. Karena itu, pemikirannya menjadi uas. Mansur terpengaruh pula oleh perjuangan bangsa Mesir melepaskan diri dari penjajahan.
Setelah kembali ke tanah air, ia mengajar di pesantren Mufidah di Surabaya. Selain itu, ia aktif pula dalam pergerakan nasional, mula-mula menjadi anggota Muhammadiyah, kemudian memasuki Persatuan bangsa Indonesia (PBI). Banyak kejadian yang telah dilakukannya untuk memajukan Muhammadiyah, antara lain giat berdakwah ke daerah-daerah. Dari jabatan ketua cabang, Mansur diangkat menjadi Knsul Muhammadiyah Jawa Timur, Mansur diangkat menjadi Konsul Muhammadiyah Jawa Timur. Pada tahun 1937 ia terpilih sebagai Ketua Pucuk Pimpinan Muhammadiyah.
Pada masa pendudukan Jepang ia giat mengurus perguruan Muhammadiyah. Bersama K.H. Wahid Hasyim dan K.H. Taufiqurrahman, ia mendirikan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Ketika Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera), Kyai Haji Mas Mansur diangkat menjadi salah seorang pemimpinnya di samping Ir. Sukarno, Drs. Muhammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara. Putera dibentuk untuk mengambil hati tokoh-tokoh nasionalis. Buat Mas Mansur, yang tidak menyukai pemerintah Jepang, tugas itu tidak menyenangkan. Tetapi, demi kepentingan umat Islam, diterimanya juga. Hidup di Jakarta merupakan tekanan batin yang berat sebab hamper setiap hari ia menyaksikan orang-orang bergaul bebas, meminum minuman keras, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain yang bertentangan dengan ajaran Islam. Karena itu, pada tahun 1944, ia kembali ke Surabaya dengan alas an kesehatan terganggu. Namun demikian, ia masih juga diangkat sebagai anggota Coa Sangi In.
Menjelang Proklamasi Kemerdekaan, Mas Mansur diangkat menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia Sesudah Indonesia merdeka, ia giat membantu pemuda-pemuda Surabaya berjuang melawan Inggris. Karena mempunyai pengaruh yang besar terhadap para pemuda, ia di tangkat oleh Belanda dan dipenjarakan di penjara Kalisosok, Surabaya. Dalam penjara ini ia meninggal dunia pada tanggal 25 April 1946.
K.H. ABDUL WAHID HASYIM (1914-1953)
Pahlawan Kemerdekaan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 206 Tahun 1964
tanggal 24 Agustus 1964)
Abdul Wahid Hasyim lahir di Jombang pada tahun 1914 dan dibesarkan di lingkungan pesantren. Ayahnya, K.H. Hasyim Asy’ari, mempunyai sebuah pesantren di Tebu Ireng. Jombang. Di Pesantren itu Wahid belajar agama, kemudian di pesantren-pesantren lain. Sesudah itu, ia mengajar di pesantren Tebu Ireng membantu ayahnya. Membaca huruf Latin dan menulis dipelajarinya sendiri. Karena itu, ia dapat membaca buku-buku ilmu pengetahuan, sehingga pengetahuannya bertambah luas.
Di Pesantren Tebu IReng diajarkan pengetahuan umum. Murid-murid diharuskan belajar huruf Latin dan membaca buku-buku lain di samping buku agama. Tindakan itu menimbulkan reaksi dari masyarakat. Orang-orang tua murid mengancam akan menarik anak-anak mereka dari pesantren. Pemerintah Belanda pun tidak setuju dengan cara-cara yang dilakukan itu sebab di pesantren hanya diizinkan memberikan pelajaran agama. Tetapi, Wahid Hasyim tidak mundur walaupun mendapat makian dari kanan kiri. Pada tahun 1925 didirikannya madrasah modern, Nidhomiah. Di situ murid-murid diajar berpidato dan berorganisasi. Mereka diharuskan membaca buku, Koran dan majalah yang memuat pengetahuan umum. Untuk melatih murid-murid berorganisasi, didirikannya Ikatan Pelajar – Pelajar Islam (IPPI).
Pada tahun 1938 Wahid Hasyim memasuki Nahdatul Ulama (NU) dan diangkat sebagai jurutulis ranting NU di desa Cukik. Empat tahun kemudian, ia diserahi jabatan penting, yakni Ketua Pengurus Besar NU. Pada masa pendudukan hanyalah majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Wahid Hasyim diangkat menjadi ketua. Tak lama kemudian MIAI dilarang pula. Bersama K.H. Mas Mansur, dan K.H. Taufiqurrahman, Wahid Hasyim mendirikan Masyumi. Menjelang masa akhir pendudukan Jepang, ia diangkat sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Pada masa awal pemerintahan Ri, K.H. Wahid Hasyim diangkat sebagai Menteri Negara dalam Kabinet Presidensiil. Sesudah berhenti, ia banyak mencurahkan perhatian untuk membangun kembali NU. Sesudah pengakuan Kedaulatan, tiga kali ia diangkat menjadi Menteri Agama, yakni dalam Kabinet RIS (1949-1950), Kabinet Natsir (1950-1951), dan Kabinet Sukiman (1951-1952). Ia meninggal dunia pada tanggal 19 April 1953 dalam kecelakaan mobil di Cimahi, Bandung, dan dimakamkan di pekuburan keluarga di Tebu Ireng.
K.H. ABDUL WAHID HASYIM (1914-1953)
Pahlawan Kemerdekaan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 206 Tahun 1964
tanggal 24 Agustus 1964)
Hasyim Asy’ari lahir di Demak, Jawa Tengah, pada bulan April 1875. Sejak kecil ia sudah hidup di lingkungan pesantren dan bergaul dengan para santri. Mula-mula ia mendapat pendidikan agama dari ayah dan kakeknya, kemudian di pesantren-pesantren lain. Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.
Pada thaun 1896 Hasyim naik haji dan tinggal di Mekah selama tujuh tahun untuk memperdalam pengetahuan agama, Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Setelah pulang ia mengajar di pesantren kakeknya. Pada tahun 1907 didirikannya sebuah pesantren di desa Cukir, Jombang. Pesantren itu terkenal dengan nama Pesantren Tebu Ireng. Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Murid-murid disuruh belajar membaca huruf Latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap bid’ah. Hasyim dikecam, tetapi ia tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Hasyim Asy’ari.
Pada waktu Nahdatul Ulama (NU) berdiri pada bulan Januari 1926, Hasyim dipilih menjadi Raihul Akbar. Walaupun sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya.
Dalam alas an yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid hasyim, beberapa bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di Tebu Ireng.
Sesudah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya K.H. Hasyim Asy’ari membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di Tebu Ireng.
R.M. SURYO (1898-1948)
Pahlawan Kemerdekaan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 294 Tahun 1964
tanggal 17 Nopember 1964)
R.M. Suryo lahir di Magetan, Jawa Timur, pada tanggal 9 Juli 1898. Setelah menamatkan HIS (setingkat Sekolah Dasar), ia melanjutkan sekolah ke OSVIA (Sekolah Pamongpraja) di Magelang. Tamat dari OSVIA tahun 1918, ia bekerja sebagai pamongpraja di Ngawi. Dua tahun kemudian dipindahkan ke Madiun sebagai Mantri Veldpolitie. Pada tahun 1922 ia mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan polisi di Sukabumi. Setelah menjalani masa kerja sebagai asisten wedana beberapa tempat, ia mendapat lagi tugas belajar di Bestuurs School di Jakarta. Sesudah itu ia diangkat menjadi wedana dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Pada tahun 1938, Suryo diangkat menjadi Bupati Megetan. Jabatan itu tetap dipegangnya sampai berakhirnya masa pemerintahan Belanda. Pada masa pendudukan Jepang ia diangkat sebagai Syucokan (Residen) Bojonegoro.
Sebagai Gubernur Jawa Timur setelah Indonesia merdeka, R.M. Suryo berkedudukan di Surabahaya. Pada tanggal 23 Oktober 1945 pasukan Inggris mendarat di kota itu. Tugas mereka sebenarnya ialah melucuti pasukan Jepang dan memulangkan mereka ke negeri asalnya. Ternyata Inggris melindungi kepentingan Belanda yang bermaksud menjajah Indonesia kembali. Bentrokan bersenjata terjadi antara pihak Inggris dan pasukan RI. Pada tanggal 28 – 30 Oktober 1945 berkobar pertempuran yang mengakibatkan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby. Inggris sangat marah. Tanggal 9 Nopember 1945 mereka mengeluarkan ultimatum agar semua orang Indonesia yang bersenjata api menyerahkan kepada Inggris selamat-lamabatnya pukul 18.00 tanggal 9 NOpember 1945. apabila ultimatum itu tidak dipenuhi, Surabaya akan digempur dari darat, laut dan udara.
Keadaan yang kritis itu dihadapi Gubernur Suryo dengan kepala dingin. Pemerintah Pusat di Jakarta menyerahkan kepadanya tindakan apa yang akan diambil. Setelah berunding dengan pemimpin Tentara Keamanan Rakyat (TKR), pukul 23.00 malam tanggal 9 Nopember 1945 ia berpidato di depan corong radio menolak ultimatum Inggris. Keesokan harinya meletuslah pertempuran hebat yang terkenal dengan nama Pertempuran Surabaya.
Pada tahun 1947 R.M. Suryo diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Sewaktu mengadakan perjalanan dinas di desa Bago, kedunggalar (Ngawi) pada tanggal 10 September 1948 ia dicegat dan dibunuh oleh gerombolan PKI. Jenazahnya ditemukan empat hari kemudian dan dimakamkan di Magetan.
PROF. DR. R. SUPOMO SH (1903-1958)
Pahlawan Kemerdekaan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.123 Tahun 1965
tanggal 14 Mei 1965)
Supomo lahir di Sukoharjo, Surakarta, pada tanggal 22 Januari 1903. Setelah ELS (Setingkat Sekolah Dasar), ia melanjutkan pelajaran ke MULO (setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama). Sesudah itu ia memasuki Sekolah Hukum dan lulus pada tahun 1923. Beberapa waktu lamanya ia bekerja di Pengadilan Negeri Surakarta. Kemudian memperdalam pengetahuan mengenai ilmu hukum di Universitas Leiden, negeri Belanda dan berhasil memperoleh gelar doctor dalam ilmu hokum. Setelah kembai ke tanah air, Supomo bekerja di Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Perhatian Supomo terhadap pergerakan nasional sudah tampak ketika masih bersekolah, dengan memasuki organisasi Jong Java. Bersama Ali Sastroamijoyo, pada tahun 1928 ia menulis brosur yang berjudul Perempuan Indonesia Dalam Hukum sebagai sumbangan pikiran terhadap diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia.
Kegiatan Supomo yang paling menonjol ialah di bidang hokum. Pada tahun 1933, ia menyelidiki masalah hokum adapt di Jawa Barat dan sebagai hasilnya terbit monografi mengenai hokum adat privat Jawa Barat. Karangan lain banyak terdapat dalam majalah Indisch Tijdschrift van het Recht. Ia juga pernah menjadi Ketua Balai Pengetahuan Masyarakat Indonesia. Sebagai pegawai pemerintah, seringkali ia memegang jabatan penting, antara lain Ketua Landraad Purworejo dan pegawai tinggi pada Departemen van Justitie, di samping menjadi Guru Besar pada Sekolah Hakim Tinggi.
Pada masa pendudukan Jepang, Supomo duduk sebagai anggota Panitia Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan kemudian sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Karena ahli di bidang ilmu tatanegara, buah pikirannya banyak dipakai dalam menyusun Undang-Undang Dasar 1945.
Setelah Negara Republik Indonesia terbentuk, Supomo diangkat menjadi Menteri Kehakiman dalam Kabinet Presidensiil. Di samping itu, ia turut membina Universitas Gajah Mada dan kemudian diangkat menjadi Guru Besar Universitas tersebut. Sesudah Pengakuan Kedaulatan, ia diangkat menjadi Menteri Kehakiman, dan pada tahun 1951 menjadi Presiden (sekarang Rektor) Universitas Indonesia (UI). Beberapa tahun lamanya ia menjadi Duta Besar RI di London. Ia meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 12 September 1958 dan di makamkan di Solo.
JENDRAL ANUMERTA AHMAD YANI (1922-1965)
Pahlawan Revolusi
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 111 Tahun 1965
tanggal 5 Oktober 1965)
Ahmad Yani Lahir di Jenar, Purworejo, pada tanggal 19 Juni 1922. Pendidikan umum sempat ditempuhnya sampai kelas dua AMS (Setingkat Sekolah Menengah Umum) bagian B, sebab pada waktu itu Pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi. Yani mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi militer di Malang dan secara lebih intensif di Bogor. Pada masa pendudukan Jepang ia mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan tentara Pembela Tanah Air (peta) di Bogor.
Pada awal kemerdekaan, Ahmad Yani berhasil meluncuti senjata jepang di Magelang. Setelah Tentara keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia diangkat menjadi komandan TKR Purwokerto. Karier militernya cepat menanjak. Dalam Agresi Miiter I Belanda pasukannya beroperasi di daerah Pingit dan berhasil menahan serangan Belanda ke daerah tersebut. Selama Agresi Militer II Belanda ia memegang jabatan sebagai Komandan. Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan Kedu. Sesudah Pengakuan Kedaulatan, ia diserahi tugas untuk menghancurkan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang mengacau di Jawa Tengah. Untuk itu dibentuknya pasukan Banteng Raiders yang diberi latihan khusus. Sesudah itu, ia ditarik ke Staf Angkatan Darat dan kemudian disekolahkan pada Command and General Staff College di Amerika Serikat.
Pada tahun 1958 di Sumatera dan Sulawesi Utara meletus pemberontakan PRRI/Permesta. Kolonel Ahmad Yani diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus. Dalam waktu singkat pasukannya berhasil menduduki kota Padang dan kemudian Bukittinggi. Karena hasil-hasil yang dicapai itu, Yani serahi memegang jabatan-jabatan penting dalam Angkatan Darat. Pada tahun 1962 ia diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat. Selama memegang jabatan sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. ia banyak menghadapi rongrongan dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Angkatan Darat difitnah bekerja sama dengan sebuah Negara asing untuk menjatuhkan Presiden Sukarno. Dengan tugas Yani menolak rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri atas buruh dan tani. Karena itu, ia dimusuhi oleh PKI.
Dinihari tanggal 1 Oktober 1965 PKI melancarkan pemberontak yang mereka namakan “Gerakan Tiga Puluh September”. Letnan Jenderal Ahmad Yani mereka culik dan mereka bunuh. Mayatnya disembunyikan di Lubang Buaya. Setelah ditemukan, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibatan, Jakarta.
LETJEN ANUMERTA SUPRAPTO (1920-1965)
Pahlawan Revolusi
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 111 /KOTI/Tahun 1965
tanggal 5 Oktober 1965)
Suprapto lahir di Purwokerto pada tanggal 20 Juni 1920. setelah menamatkan MULO (Setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), ia melanjutkan pelajaran ke AMS (setingkat SEkolah Menengah Umum) bagian B di Yogyakarta dan tamat pada tahun 1941. Pada waktu itu pula Pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi sehubungan dengan pecahnya Perang Dunia II. Suparto memasuki pendidikan militer pada Koninklijke Militaire Akademie di Bandung, tetapi tidak sampai tamat sebab Jepang sudah mendarat di Indonesia. Ia ditawan dan dimasukkan ke dalam penjara, tetapi berhasil meloloskan diri.
Pada masa Pendudukan Jepang, Suprapto mengikuti kursus Pusat Latihan Pemuda dan sesudah itu bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat. Selain itu, ia mengikuti pula latihan keibodan, seinendan, dan syuisyintai. Sesudah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, ia turut serta merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Kemudian ia menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Purwokerto dan turut dalam pertempuran melawan pasukan Inggris di Ambarawa. Pernah pula ia diangkat sebagai ajudan Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Sesudah Pengakuan Kedaultan, Suprapto bertugas sebagai kelas Staf Tentara & Teritorium (T &T) IV/Diponegoro di Semarang. Dari T & T ia ditarik ke Staf Angkatan Darat di Jakarta. Ia seringkali berpindah tugas dari Staf Angkatan Darat ke Kementerian Pertahanan. Sesudah pemberontakan PRRI/Permesta dipadamkan, Suprapto diangkat menjadi Deputy Kepala Staf Angkatan Darat untuk Wilayah Sumatera, berkedudukan di Medan. Tugasnya berat, sebab harus menjaga agar pemberontakan seperti yang lalu itu tidak terulang kembali. Dari Medan ia pindahkan ke Jakarta untuk memangku jabatan Deputi II Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Dalam tugas tersebut, ia banyak menghadapi rongrongan dari perwira yang menolak rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri atas buruh dan tani. Oleh karena itu, perwira yang taat menjalankan ibadat agama ini,dimusuhi PKI.
Dinihari tanggal 1 Oktober 1965 PKI melancarkan pemberontakan yang disebut “Gerakan Tiga Puluh September”. Mayor Jenderal Suprapto mereka culik dan mereka bunuh. Mayatnya disembunyikan di Lubang Buaya. Setelah ditemukan, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
LETJEN ANUMERTA S.PARMAN (1918-1965)
Pahlawan Revolusi
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 111 /KOTI/Tahun 1965
tanggal 5 Oktober 1965)
S. Parman lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, pada tanggal 4 Agustus 1918. Sesudah menyelesaikan Sekolah Dasar ia meneruskan pelajaran ke Sekolah Menengah dan kemudian memasuki Sekolah Tinggi Kedokteran. Sebelum tamat, Jepang sudah mendarat di Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang, ia berkerja pada Jawatan Kenpeitai. Karena dicurigai, ia ditangkap, tetapi kemudian dibebaskan kembali. Sesudah itu, ia dikirim ke Jepang untuk mengikuti pendidikan pada Kenpei Kasya Butai. Setelah kembali ke tanah air, ia tetap bekerja pada Jawatan Kenpeitai.
Sesudah kemerdekaan Indonesia diproklamasi, S. Parman memasuki Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Akhir Desember 1945 ia diangkat menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Tentara (PT) di Yogyakarta. Selama Agresi Militer II Belanda, ia turut bergerilya. Bulan Desember 1949 ia diserahi tugas sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya. Ia berhasil membongkar rahasia gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang akan melakukan operasinya di Jakarta di bawah pimpinan Westerling. Pada bulan Maret 1950 ia diangkat menjadi Kepala Staf G dan setahun kemudian dikirim ke Amerika Serikat untuk mengikuti pendidikan pada Military Police School.
Kembali dari Amerika Serikat, untuk beberapa waktu lamanya S. Parman bertugas di Kementerian Pertahanan. Pada tahun 1959 ia diangkat sebagai Atase Militer RI di London. Lima Tahun kemudian ia diserahi tugas sebagai Asisten I Menteri/Panglima Angkatan DArat (Men/Pangad). Waktu itu ia sudah berpangkat mayor jenderal.
Pada waktu S. Parman menjadi Asisten I Men/Pangad, Partai Komunis Indonesia (PKI) sedangkan melakukan kegiatan untuk melancarkan pemberontakan. Sebagai perwiran interlijen, ia banyak mengetahui kegiatan gelap PKI. Bersama beberapa orang perwira lain, ia menolak rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri atas buruh dan tani. Karena itu, ia dimusuhi oleh PKI.
Dinihari tanggal 1 Oktober 1965 PKI melancarkan pemberontakan yang disebut “Gerakan Tiga Puluh September”. Mayor Jenderal S. Parman mereka culik dan mereka bunuh. Mayatnya disebunyikan di Lubang Buaya. Setelah ditemukan, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibatan, Jakarta.
LETJEN ANUMERTA M.T. HARYONO (1924-1965)
Pahlawan Revolusi
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 111 /KOTI/Tahun 1965
tanggal 5 Oktober 1965)
M.T. Haryono lahir di Surabaya pada tanggal 20 Januari 1924. Mula-mula ia menempuh pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar), kemudian melanjutkan HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum). Pada masa pendudukan Jepang, ia memasuki Ika Dai Gakko (Sekolah Kedokteran) di Jakarta, tetapi tidak sampai tamat.
Pada waktu kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Haryono berada di Jakarta. Ia segera menggabungkan diri dengan pemuda-pemuda lain untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Kemudian, ia memasuki Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan memperoleh pangkat mayor. Kemampuan berbicara dalam tigas bahasa asing, yakni bahasa Belanda, Inggris, dan Jerman, menyebabkan tenaganya banyak diperlukan dalam perundingan-perundingan antara pemerintah RI dan pihak Inggris maupun Belanda. Selama Perang Kemerdekaan (1945-1950), ia sering berpindah tugas. Mula-mula bekerja pada Kantor Penghubung, kemudian sebagai sekretaris delegasi RI dalam perundingan dengan Inggris dan Belanda. Pernah pula ia diangkat sebagai sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan sebagai Wakil Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata. Dalam Konferensi Meja bundar, Haryono diserahi tugas sebagai sekretaris Delegasi Militer Indonesia.
Haryono merupakan perwira teladan Angkatan Darat yang lebih banyak bekerja di lingkungan staf daripada sebagai komandan pasukan. Pada tahun 1950 ia bertugas di Negeri Belanda sebagai Atase Militer RI. Kembali di sana, ia diserahi bermacam-macam tugas dan jabatan di lingkungan Staf Angkatan Darat, antara lain Direktur Intendans. Pada tahun 1964 ia diangkat sebagai Deputy III Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Waktu itu ia sudah berpangkat mayor jenderal.
Haryono adalah seorang perwira yang tidak menyukai Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan beberapa perwira lain, ia menolak rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri atas buruh dan tani. Karena itu, ia dimusuhi oleh PKI. Dinihari tanggal 1 Oktober 1965 PKI mulai melancarkan pemberontakan yang disebut “Gerakan Tiga Puluh September” Mayor Jenderal M.T. Haryono mereka culik. Ia mengadakan perlawanan, tetapi tertembak. Mayat culik. Ia mengadakan perlawanan, tetapi tertembak. Mayatnya disembunyi-kan di Lubang Buaya. Setelah ditemukan, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
LETJEN ANUMERTA D.I. PANJAITAN (1925-1965)
Pahlawan Revolusi
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 111 /KOTI/Tahun 1965
tanggal 5 Oktober 1965)
Donald Ignatius Panjtaitan dilahirkan di Balige, Tapanuli, pada tanggal 9 Juni 1925. Setelah menamatkan Sekolah Dasar, ia melanjutkan pelajaran ke Sekolah Menengah Pertama dan kemudian di Sekolah Menengah Atas. Pada masa pendudukan Jepang ia mengikuti latihan gyugun. Setelah selesai, ditugaskan sebagai anggota gyugun di Pekanbaru, Riau, dan tetap berada di kota itu pada waktu kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Bersama pemuda lain, D.I. Panjaitan membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian berkembang menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mula-mula ia diangkat menjadi komandan batalyon. Pada bulan Maret 1948 ia diserahi tugas sebagai Komandan batalyon. Pada bulan Maret 1948 ia diserahi tugas sebagai komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi. Tak lama kemudian diangkat sebagai Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatera. Sewaktu Agresi Militer II Belanda, ia diangkat pula menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Sesudah Pengakuan Kedaulatan, D.I. Panjitan diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara & Teritorium (T & T) I/Bukit Barisan di Medan. Dari situ ia dipindahkan ke Palembang untuk memangku jabatan Kepala Staf T & T II/Sriwijaya. Pada tahun 1956 ia mengikuti kursus Militer Atase (Milat) dan setelah selesai, ditugaskan sebagai Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat. Pulang dari Bonn, tahun 1962, ia ditunjuk sebagai Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Selain ia pernah pula belajar pada Associated Command and General Staff College di Amerika Serikat.
Sebagai Asisten IV Men/Pangad, Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan berhasil membongkar rahasia kiriman senjata dari Republik Rakyat Cinta (RRC) untuk Partai Komunis Indonesia (PKI). Senjata-senjata tersebut dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan yang akan dipakai untuk membangun gedung Conefo (Conference of the New Emerging Forces). Pada waktu itu PKI sedang giat mengadakan persiapan untuk melancarkan pemberontakan. D.I. Panjaitan termasuk salah seorang perwira yang menolak rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri atas buruh dan tani. Karena itu, ia dimusuhi oleh PKI. Dinihari tanggal 1 Oktober 1965 PKI melancarkan pemberontakan yang disebut “Gerakan Tiga Puluh September”. Mereka menculik dan membunuh Brigadir Jenderal Panjaitan. Mayatnya disembunyikan di Lubang Buaya. Setelah ditemukan, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibatan Jakarta.
SUTAN SYAHRIR (1909-1966)
Pahlawan Revolusi
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 76 Tahun 1965
tanggal 5 Oktober 1965)
Sutan Syahrir lahir di Padangpanjang, Sumatera Barat, pada tanggal 5 Maret 1909. Ia menempuh pendidikan MULO (setingkat Sekolah Menengah Tingkat Pertama) di Medan dan AMS (setingkat Sekolah Menengah Umum) bagaian A di Bandung. Perhatiannya terhadap masalah-masalah politik mulai timbul sejak ia menjadi anggota Patria Squenteque (Untuk Tanah Air dan Bangsa), sebuah organisasi yang didirikan oleh para pelajar AMS Bandung. Ia ikut pula mendirikan Jong Indonesia yang kemudian berganti nama menjadi pemuda Indonesia.
Pada tahun 1929 Syahrir berangkat ke negeri Belanda untuk mengikuti kuliah ilmu hukum. Dua tahun kemudian ia kembali ke Indonesia sebelum menyelesaikan kuliahnya. Pada waktu itu pergerakan nasional sedang mengalami tekanan berat dari pemerintah Belanda. Syahrir mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia yang lebih dikenal dengan nama PNI-Baru. Partai ini dijadikan wadah untuk mendidik kader-kader pemimpin dan menanamkan kesadaran politik kepada rakyat. Karena kegiatan politik itu, pada tahun 1934 ia ditangkap dan pada bulan Januari 1935 di buang ke Digul, Irian Jaya. Dari Digul ia dipindahkan ke Banda Neira, akhirnya ke Sukabumi, Jawa Barat.
Pada masa pendudukan Jepang, Syahrir memimpin gerakan bawah tanah menentang pemerintah Jepang. Melalui pesawat radio yang dapat disembunyikannya dari penyegelan Jepang, ia mengetahui perkembangan internasional. Pada tanggal 14 Agustus 1945 ia sudah mengetahui bawah Jepang sudah menyerah kepada sekutu. Syahrir mendesak Ir. Sukarno dan Drs. Mohammad Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Pada bulan Nopember 1945 ia diangkat sebagai perdana menteri, memimpin cabinet parlementer. Syahrir berjuang melalui cara-cara diplomasi untuk memperoleh pengakuan internasional umumnya dan Belanda khususnya terhadap Republik Indonesia. Perjuangan diplomasi itu melahirkan Perjanjian Linggajati (Marat 1947). Pada waktu berjuang di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar badan internasional itu memerintahkan Belanda menghentikan agresi militernya.
Sejak tahun 1950, Syahrir tidak pernah lagi duduk dalam pemerintah. Ia giat membina Partai Sosialis Indonesia (PSI). pada masa pemerintahan Orde Lama, ia ditangkap dan dipenjarakan karena dituduh terlibat dalam usaha pembunuhan terhadap Presiden Sukarno. Dalam penjara ia menderita lumpuh, lalu dikirim ke Swis untuk berobat. Akan tetapi, hal itu tidak dunia di rumah sakit Zurich, Swis. Jenazahnya dibawa ke Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
RADEN DEWI SARTIKA (1884-1947)
Pahlawan Revolusi
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 252 Tahun 1966
tanggal 1 Desember 1966)
Raden Dewi Sartika lahir di Cicalengka, Jawa Barat, pada tanggal 4 Desember 1884. Ayahnya, Raden Somanagara, meninggal dunia dalam pembuangan di Ternate sebab melawan Pemerintah Belanda. Ia mengikuti pendidikan Sekolah Dasar Cicalengka. Pulang sekolah, ia mengikuti pendidikan Sekolah Dasar Cicalengka. Pulang sekolah, ia bermain sekolah-sekolahan dengan anak-anak perempuan yang sebaya dan berpera sebagai guru. Setelah tinggal di Bandung, ia berjuang untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak wanita agar mereka memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Pada tahun 1904 didirikannya Sekolah Isteri. Sekolah itu hanya terdiri atas dua kelas. Untuk ruang belajar dipinjam sebagai ruangan Kepatihan Bandung. Muridnya mula – mula hanya dua puluh orang. Mereka diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, meren, dan menyulam. Pelajaran agama pun diberikan pula.
Sekolah itu mendapat perhatian dari masyarakat. Murid-murid bertambah banyak. Ruangan Kepatihan Bandung tidak cukup lagi untuk menampung mereka. Karena itu, Sekolah Istri dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Pada tahun 1910 nama sekolah itu diganti menjadi Sekolah Keutamaan Isteri. Mata pelajaran ditambah pula. Dewi Sartika berusaha mendidik anak-anak gadis agar kelak menjadi ibu rumah tangga yang baik, bias berdiri sendiri, luwes, dan trampil. Pelajaran yang berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak diberikan. Tetapi ia harus membanting tulang mencari biaya untuk mengongkosi sekolah tersebut.
PANGERAN ANTASARI (1809-1862)
Pahlawan Kemerdekaan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 06/TK/ tanggal 27 Maret 1968)
Pangeran Antasari lahir di Banjarmasin pada thaun 1809. Walaupun ia keluarga Sultan Banjar, tetapi tidak pernah hidup dalam lingkungan istana. Karena dibesarkan di tengah-tengah - tengah rakyat biasa, Antasari menjadi dekat dengan rakyat, mengenal perasaan dan mengetahui penderitaan mereka. Pada waktu itu kekuasaan colonial Belanda sedang giat berusaha melemahkan kerajaan Banjar. Untuk melemahkan kerajaan tersebut, Belanda mengadu domba golongan-golongan yang ada dalam istana, sehingga mereka terpecah-pecah dan bermusuhan. Bahkan, dalam pengangkatan seorang sultan pun Belandalah yang menentukan.
Pada tahun 1859 Sultan Tamjid diangkat menjadi sultan kerajaan Banjar, padahal yang berhak naik tahta adalah Pangeran Hidayat. Sultan Tamjid tidak disukai oleh rakyat sebab terlalu memihak kepada Belanda, lalu bersekutu dengan kepala – kepala daerah Hulu Sungai, Martapura, Barito, Pleihari, Kahayan, Kapuas, dan lain-lain. Mereka semuanya bertekad untuk mengangkat senjata mengusir Belanda dari kerajaan Banjar. Sesudah itu berkobarlah pertempuran yang terkanal dengan nama Perang Banjar. Pertempuran pertama terjadi tanggal 18 April 1859 ketika pasukan Pangeran Antasari menyerang tambang batu bara di Pengaron. Pangeran Antasari berhasil mengerahkan tenaga rakyat dan mengobarkan semangat mereka, sehingga Belanda menghadapi kesulitan. Karena hebatnya perlawanan, Belanda membujuk Antasari dengan janji muluk-muluk asal bersedia menghentikan perang. Semua bujukan itu ditolaknya.
Dalam keadaan sangat terjepit, Pangeran Hidayat menyerah kepada Belanda. Kepala-kepala daerah lainpun banyak pula yang menyerah. Antasari tetap melanjutkan perjuangan. Baginya, pantang untuk berdamai dengan Belanda, apalagi menyerah. Pada bulan Oktober 1862 ia merencanakan serangan besar-besaran terhadap benteng Belanda. Kekuatan untuk itu sudah dikumpulkan. Tetapi, pada waktu itu berjangkit wabah cacar. Pangeran Antasari pun terkena wabah tersebut yang akhirnya merenggut nyawanya. Ia meninggal dunia di Bayan Begak (Kalimantan Selatan), pada tanggal 11 Oktober 1862 dan dimakamkan di Banjarmasin.
JENDRAL SUDIRMAN (1916-1950)
Pahlawan Pembela Kemerdekaan
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 015/TK/ Tanggal 20 Mei 1970)
Sudirman dilahirkan di Bodas Karangjati, Kabupaten Purbalingga, tanggal 24 Januari 1916. Pendidikan umum terakhir yang ditempuhnya ialah Sekolah Guru Muhammadiyah di Solo, tidak sampai tamat. Sesudah itu ia menjadi guru Muhammadiyah Cilacap di samping menjadi anggota Muhammadiyah. Sewaktu muda Sudirman giat dalam organisasi pramuka dan terkenal disiplin.
Pada masa pendudukan Jepang, Sudirman banyak mencurahkan perhatian terhadap masalah social. Ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Selain itu, ia juga menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas.
Pada masa itu pula Sudirman mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (peta) di Bogor. Setelah selesai, ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Bersikap tegas, ia sering memprotes tindakan tentara jepang yang berbuat sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak buahnya. Karena sikap itu ia hamper saja dibunuh oleh Jepang. Jasa pertama Sudirman setelah Indonesia merdeka ialah merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia diangkat menjadi Panglima Divisi 1945, ia memimpin pasukan TKR dalam pertemuran melawan Inggris di Ambarawa. Tanggal 12 Desember dilancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran berkobar selama tiga hari. Akhirnya, psukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang. Sementara itu, dalam konferensi TKR tanggal 12 Nopember 1945 Sudirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR. Tanggal 18 Desember 1945 ia dilantik oleh Presiden dengan pangkat jenderal. Sejak saat itu mulailah kerja berat untuk membina TKR yang akhirnya tumbuh menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Waktu Belanda melancarkan Agresi Militer II, Jendral Sudirman sedang sakit, tetapi ia menolak saran Presiden supaya tetap tinggal dalam kota. Kurang lebih tujuh bulan ia memimpin perang gerilya di hutan-hutan dan gunung-gunung. Banyak penderitaan yang dialami, penyakitnya sering kambuh dan obat hampir-hampir tidak ada. Pulang dari medan gerilya, karena masih sakit, ia tidak dapat memimpin Angkatan Perang secara langsung, tetapi buah pikirannya selalu dibutuhkan oleh Pemerintah.
Panglima Besar Jenderal Sudirman meninggal dunia di Magelang pada tanggal 19 Januari 1950 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
SULTAN AGENG TIRTAYASA (1631-1692)
Pahlawan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970
Tanggal 1 Agustus 1970)
Abu’l Fath Abdulfattah yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa lahir di Banten pada tahun 1631. dalam usia dua puluh tahun ia diangkat menjadi raja Kerajaan Banten. Pada waktu itu Belanda sudah menguasai beberapa daerah Indonesia, antara lain Jakarta, dan sedang berusaha mengembangkan kekuasaan mereka. Di Banten pun terdapat sebuah kantor dagang Belanda.
Sultan Ageng berusaha menghalang-halangi perdagangan Belanda. Selain itu, orang-orang Banten diperintahkan melancarkan serangan-serangan gerilya terhadap kependudukan Belanda di Jakarta, baik melalui darat maupun melalui laut. Pada tahun 1655 dua buah kapal Belanda dirusak oleh orang-orang Banten. Akibatnya, hubungan antara Banten dan Belanda menjadi tegang. Belanda terpaksa menutup kantor dagangnya di Banten, dan sebagai belasan, melancarkan blockade laut terhadap Banten. Tetapi Sultan Ageng berhasil menjalin hubungan dagang dan kerja sama dengan pedagang-pedagang Eropah bukan Belanda. Pedagang-pedagang Inggris dan Denmark bebas membeli lada di seluruh wilayah kerajaan Banten.
Sesudah itu, Belanda melakukan politik adu domba. Sultan haji, putra Sultan Ageng, berhasil dipengaruhi sehingga memusuhi ayahnya. Akibatnya terjadi perselisihan antara anak dan ayah. Masyarakat pun terbagi dua. Sebagian tetap etia kepada Sultan Ageng, sedangkan yang lain memihak Sultan Haji. Pada bulan Pebruari 1682 pecah perang antara Sultan Ageng di satu pihak dan Belanda serta Sultan Haji di pihak yang lain. Pasukan Sultan Ageng berhasil merebut istana Sultan Haji di Surosowan. Belanda melipatgandakan kekuatan. Lama kelamaan Sultan Ageng terdesak dan kekuatannya mulai lemah, tetapi ia tidak mau menyerah kepada Belanda. Pengikut – pengikutnya yang masih setia melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman.
Pada tahun 1683 Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di Jakarta. Ia meninggal dunia dalam penjara dan dimakamkan dekat Mejis Agung Banten.
SAGE RUDOLF SUPRATMAN (1903-1938)
Pahlawan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 016/TK/Tahun 1971
Tanggal 20 Mei 1971)
Wage Rudolf Supratman lahir di Jatinegara, Jakarta, pada tanggal 9 Maret 1903, putra dari seorang bintara KNIL (Tentara Hindia Belanda). Setelah menamatkan Sekolah Dasar di Jakarta, melanjutkan pelajaran di Normaal School Ujungpandang, sampai selesai. Beberapa waktu lamanya ia bekerja sebagai guru Sekolah Dasar, kemudian indah bekerja pada sebuah perusahaan dagang. Dari Ujungpandang, ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan. Pekerjaan itu tetap dilakukannya sewaktu sudah tinggal di Jakarta. Dalam pada itu ia mulai tertarik kepada pergerakan nasional dan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan. Rasa tidak senang terhadap penjajahan Belanda mulai tumbuh dan akhirnya dituangkan dalam buku Perawan Dewa. Duku itu disita dan dilarang beredar oleh Pemerintah Belanda.
Sewaktu tinggal di Ujungpandang, Supratman memperoleh pelajaran musik dari kakaknya, sehingga pandai bermain biola dan kemudian bias menggubah lagu. Ketika tinggal di Jakarta, pada suatu kali ia membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul. Penulis karangan itu menentang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Supratman terangsang, lalu mulai mengubah lagu. Pada tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya.
Pada bulan Oktober 1928 di Jakarta dilangsungkan Kongres Pemuda. Kongres itu melahirkan Sumpah Pemuda. Pada malam penutupan kongres, tanggal 28 Oktober 1928, Supratman memperdengarkan lagu ciptaanya secara instrumental di depan peserta umum. Pada saat itulah untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya dikumandangkan di depan umum. Semua itu hadir terpukau mendengarnya. Engan cepat lagu itu terkenal di kalangan pergerakan nasional. Apabila partai-partai politik mengadakan kongres, maka lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan. Lagu itu merupakan perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka.
Sesudah Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya dijadikan lagu kebangsaan, lambing persatuan bangsa. Tetapi, tercipta lagu itu, Wage Rudolf Supratman, tidak sempat menikmati hidup dalam suasana kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 17 Agustus 1938 di Surabaya dan dimakamkan di sana.
NYI H. SITI WAIDAH AHMAD DAHLAN (1872-1946)
Pahlawan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 042/TK/Tahun 1971
Tanggal 22 September 1971)
Siti Walidah yang kemudian terkenal dengan nama Nyi Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada tahun 1872. Sebagai anak seorang pejabat agama kreaton Yogyakarta, sejak kecil ia didik dalam hal agama. Ia tidak pernah mengikuti pendidikan di sekolah umum. Pada itu anak-anak perempuan harus tinggal di rumah, dipingit, sampai dating saat untuk menikah.
Setelah menikah dengan K.H. Ahmad Dahlan, Siti Walidah giat belajar dari suaminya dan giat mengembangkan Muhammadiyah, melakukan dakwah ke daerah-daerah. K.H. Ahmad Dahlan adalah seorang pembaharu Islam dan pendiri Muhammadiyah. Karena pembaharuan itu ia mendapat kecaman dari masyarakat. Siti walidah Pernah diancam akan dijadikan sandera dan suaminya akan dibunuh kalau berani dating ke Banyuwangi. Tetapi, suami isteri itu tidak gentar dan pada waktunya tetap dating ke tempat tersebut.
Selain giat memajukan Muhammadiyah, Siti Walidah turut berjuang untuk mencapai persamaan hak antara laki-laki dan wanita. Kaum wanita harus diberi kesempatan untuk mengejar kemajuan. Pada tahun 1918 Muhammadiyah mendirikan bagian wanita yang disebut aisyiah. Pada saat – saat permulaan, ia aktif memimpin aisyiah, tetapi kemudian hanya duduk sebagai penasihat dan ppelindung. Buah pikirannya tetap dibutuhkan oleh Aisyiah. Beberapa kali ia memimpin kongres. Dalam kongres Aisyiah di Surabaya, nama Siti Walidah menjadi terkenal, sebab sebagai seorang yang tidak pernah duduk di bangku sekolah, ia mampu memimpin kongres yang cukup besar. Masyarakat sangat kagum melihat kemampuan tersebut.
Atas saran-saran Nyi Ahmad DAhlan, Aisyiah mendirikan asrama-asrama untuk pelajar-pelajar putrid. Dalam asrama itu mereka dididik mengenai soal-soal agama dan masyarakat. Tidak lupa pula ditanamkan rasa kebangsaan agar kaum wanita mengambil peran aktif dalam pergerakan nasional.
Pada masa awal revolusi, Nyi Ahmad Dahlan giat membantu perjuangan,w alaupun usia sudah sangat tua. Kaum wanita dianjurkan agar mendirikan dapur umum untuk membantu tentara yang sedang berperang di garis depan. Pemuda-pemuda pun digembleng agar tetap tabah berjuang mempertahankan kemerdekaan. Sering pula ia bertukar pikiran dengan Presiden Sukarno dan Jenderal Sudirman mengenai perjuangan. Ia meninggal dunia pada tanggal dunia pada tanggal 31 mei 1964 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
SULTAN HASANUDDIN (1631-1670)
Pahlawan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 087/TK/Tahun 1973
Tanggal 6 November 1973)
Muhammad Bakir atau I. mallambosi yang lebih dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin lahir di Ujungpandang pada tahun 1631. Sebelum dinobatkan menjadi raja Gowa ke-16 pada tahun 1653, Hasanuddin sudah sering diutus oleh ayahnya ke beberapa kerajaan lain di Indonesia, seperti Banten dan Mataram, untuk mengadakan perjanjian kerja sama perdagangan dan pertahanan.
Pada masa pemerintahan ayahnya, Sultan Malikussaid, Belanda sudah mendirikan beberapa kantor dagang di Kepulauan Maluku dan berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah di daerah tersebut. Hal itu merupakan ancaman bagi kerajaan Gowa. Setelah Hasanuddin kembali memaklumkan perang kepada Belanda. Dalam perang ini Belanda dibantu oleh beberapa kerajaan yang dapat mereka pengaruhi. Belanda mengerahkan angkatan beberapa yang besar dibantu oleh beberapa kepada Belanda. Dalam perang ini Belanda dibantu oleh beberapa kerajaan yang dapat mereka pengaruhi. Belanda mengerahkan angkatan beberapa buah benteng pertahanan Gowa jatuh ke tangan Belanda. Pada tanggal 18 Nopember 1667 diadakan Perjanjian Bungaya yang mengakhiri perang perang tersebut.
Perjanjian itu tidak berhasil memelihara perdamaian untuk waktu yang lama. Hasanuddin yang merasa dirinya terlalu tertekan oleh isi perjanjian itu, pada bulan April 1668 kembali melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Belanda. Pertempuran sengit terjadi di beberapa tempat. Hasanuddin memberikan perlawanan yang gigih. Tetapi, akhirnya ia terpaksa mengakui keunggulan lawannya. Tanggal 24 Juni 1668, pertahanan terkuat dan terakhir kerajaan Gowa, yakni benteng Sombaopu, jatuh ke tangan Belanda. Dengan jatuhnya benteng tersebut kekuatan Hasanuddin semakin lemah. Lima hari kemudian ia mengundurkan diri dari takhta kerajaan. Namun, ia tetapa tidak mau bekerja sama degan Belanda.
Sultan Hasanuddin meninggal dunia tanggal 12 Juni 1670. karena keberaniannya, Belanda menamakannya “Ayam Jantan dari Timur”.
KAPITAN PATTIMURA (1783-1817)
Pahlawan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 087/TK/Tahun 1973
Tanggal 6 November 1973)
Thomas Matulessy yang lebih terkenal dengan nama Kapitan Pattimura lahir di negeri Haria, pulau Saparua, Maluku, pada tahun 1783. ia mengalami masa pergantian pemerintahan dari tengah Belanda ke tangan Inggris pada tahun 1798. pada masa pemerintahan Inggris, ia masuk dinas militer dan memperoleh pangkat sersan.
Tahun 1816 Belanda kembali berkuasa di Maluku. Penduduk Maluku kembali pula mengalami penderitaan. Mereka dipaksa bekerja rodi, dan menyerahkan hasil rempah-rempah kepada Pemerintah Belanda. Karena tekanan-tekanan tersebut, penduduk Maluku mengangkat senjata untuk membebaskan diri dari penjajahan.
Perlawanan mula-mula berkobar di Saparua dan kemudian menjalar ke tempat-tempat lain. Thomas Matulessy diangkat menjadi pimpinan perlawanan dengan gelar Kapitan Pattimura. Di bawah pimpinannya, penduduk Saparua berhasil merebut benteng Duurstede pada tanggal 16 mei 1817. Semua tentara Belanda yang ada dalam benteng itu, termasuk Residen Van den Berg, tewas. Pasukan Belanda yang dikirimkan untuk merebut kembali benteng tersebut, dihancurkan oleh pasukan Pattimura. Akhirnya, Belanda mengirimkan pasukan yang lebih besar dengan persenjataan yang lebih lengkap. Benteng Duurstede berhasil direbut Belanda kembai, setelah tiga bulan lamanya dikuasai penduduk Saparua. Sesudah itu Belanda melancarkan operasi besar-besaran untuk memadamkan perlawanan. Karena kekuatan yang tidak seimbang, lama kelamaan perlawanan menjadi berkurang. Kapitan Pattimura tertangkap sewaktu berada di sebuah rumah di Siri Sori. Dengan beberapa orang temannya, ia dibawa ke Ambon. Belanda membujuknya untuk bekerja sama, tetapi bujukan itu ditolak.
Pengadilan colonial Belanda menjatuhkan hukuman gantung kepada Pattimura. Sehari sebelum hukuman itu dijalankan, Belanda masih membujuk, tetapi ia tetap menolak. Pada hari Selasa tanggal 16 Desember 1817 hukuman gantung dilaksanakan di depan benteng Victoria di Ambon.
PANGERAN DIPONEGORO (1785-1855)
Pahlawan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 087/TK/Tahun 1973
Tanggal 6 Nopember 1973)
Raden Mas Ontowiryo yang kemudian lebih terkenal dengan nama Pangeran Diponegoro, lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 Nopember 1785. Ayahnya, Sultan Hamengku Buwono III, ingin mengangkatnya sebagai raja, tetapi ia menolak karena ibunya bukan permaaisuri.
Sekitar tahun 1820-an campur tangan Belanda dalam persoalan kerajaan Yogyakarta semakin bertambah besar. Peraturan tata tertib yang dibuat oleh Pemerintah Belanda sangat merendahkan martabat raja-raja Jawa. Para Bangsawan diadudomba sehingga dalam istana terdapat golongan yang pro dan yang anti-Belanda. Kedua golongan itu curiga mencurigai. Sementara itu, tanah-tanah kerajaan banyak yang diambil untuk perkebunan-perkebunan milik pengusaha-pengusaha Belanda.
Melihat keadaan itu, Pangeran Diponegoro mulai memperlihat perasaan tidak senang. Ia meninggalkan keratin dan menetap di Tegalrejo. Belanda menuduhnya menyiapkan pemberontakan. Tanggal 20 Juni 1825 pasukan Belanda menyerang Tegalrejo dan dengan demikian mulalah perang yang dikenal dengan nama Perang Diponegoro (1825-1830). Setelah Tegalrejo jatuh, Diponegoro membangun pusat pertahanan baru di Selarong. Perang dilancarkan secara gerilya. Gerakan pasukan berpindah-pindah, sehingga sulit dihancurkan. Tahun-tahun pertama pasukannya unggul di mana-mana. Di tempat-tempat yang sudah dikuasai didirikan benteng-benteng, sehingga gerakan psukan Diponegoro dapat dibatasi. Selain itu, beberapa orang tokoh perlawanan dibujuk sehingga mereka menghentikan perang. Sejak tahun 1829 perlawanan semakin berkurang, tetapi belum padam sama sekali. Belanda berjanji akan memberi hadiah sebesar 50.000 gulden kepada siapa saja yang dapat menangkap Diponegoro.
Kekuatan Diponegoro bertambah lemah, tetapi ia tidak mau menyerah. Karena tidak berhasil menangkap, pimpinan tentang Belanda menjalankan cara yang licik. Pangeran Diponegoro diundang ke Magelang untuk berunding dengan jaminan kalau perundingan gagal, goleh kembali ke tempatnya dengan aman. Dalam perundingan di Magelang tanggal 28 Maret 1830, DIponegoro ditangkap dan dibuang ke Menado, kemudian dipindaahkan ke Ujungpanjang. Ia meninggal dunia di benteng Retterdam, Ujungpandang, pada tanggal 8 Januari 1855 dan dimakamkan di sana.
R. OTTO ISKANDAR DINATA (1897-1945)
Pahlawan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 088/TK/Tahun 1973
Tanggal 6 Nopember 1973)
Otto Iskandardinata lahir di Bandung pada tanggal 31 Maret 1897. Setelah menamatkan Sekolah Dasar ia melanjutkan pelajaran ke Sekolah Guru dan kemudian ke Sekolah Guru Atas di Purworejo. Sesudah selesai, ia diangkat menjadi guru di Banjarnegara, kemudian pindah ke Pekalongan. Di kota ini Otto menjadi anggota Budi Utomo dan tak lama kemudian diangkat sebagai wakil budi Utomo dalam Dewan Kota. Dalam dewan itu ia seringkali mengkritik pengusaha-pengusaha perkebunan Belanda yang bertindak kasar dan sewenang-wenang terhadap petani. Karena bertengkar dengan Residen Pekalongan, ia pindah ke Jakarta dan mengjar di Perguruan Muhammadiyah. Di samping itu, ia duduk pula dalam Paguyuban Pasundan, mula-mula sebagai anggota Pengurus Besar, kemudian menjadi ketua. Berkat pimpinannya Paguyuban Pasundan menjadi maju, sehingga berhasil mendirikan sekolah, bank, dan sebagainya yang bermanfaat untuk rakyat banyak. Pada thaun 1930 Otto diangkat menjadi anggota Volksraad sebagai wakil Paguyuban Pasundan. Pidato-pidatonya dalam Voksraad tak hentinya mengecam pemerintah Belanda. Karena itu, ia sering disuruh berhenti waktu sedang berpidato.
Atas usaha otto iskandardinata Paguyuban Pasundan bergabung dengan Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Ketika pada tahun 1939 terbentuk Gabungan Politik Indonesia (Gapi), Paguyuban Pasundan pun menjadi anggota Gapi. Pada masa pendudukan Jepang organisasi itu dilarang berdiri. Karena itu, Iskandardinata memindahkan kegiatan ke bidang lain, yakni bidang kewartawanan dengan cara menerbitkan surat kabar Warta Harian Cahaya. Pada masa itupula ia diangkat menjadi anggota Jawa Hokokai, kemudian menjadi anggota Cuo Sangi In. menjelang Proklamasi Kemerdekaan, ia duduk dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan turut serta menyusun Undang-Undang Dasar 1945.
Sesudah Negara republic Indonesia berdiri, Otto Iskandardinata ikut membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Dalam Kabinet Presidensiil, ia diangkat menjadi Menteri Negara. Pada bulan Oktober 1945 ia diculik oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan kemudian dibunuh di Mauk (Banten) pada tanggal 20 Desember 1945. Pada tahun 1957 makamnya dipindahkan ke Bandung.
PROF. MUHAMMAD YAMIN, S.H. (1903-1962)
Pahlawan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 088/TK/Tahun 1973
Tanggal 6 Nopember 1973)
Muhammad Yamin lahir di Talawi, dekat Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal 28 Agustus 1930. mula-mula ia memasuki Sekolah Dasar Bumiputera. Pernah pula ia belajar pda Sekolah Pertanian di Bogor. Tetapi, semua sekolah itu tidak memuaskan hatinya, lalu ia memasuki AMS (Setingkat Sekolah Menengah Umum) bagian A di Yogyakarta sampai tamat. Sesudah itu, Yamin melanjutkan pelajaran ke Sekolah Kehakiman di Jakarta dengan beasiswa dari Pemerintah Belanda. Karena sering berpidato mengkritik pemerintah, maka beasiswa itu kemudian dihentikan. Namun demikian, Yamin berhasil juga menyelesaikan pelajaran di sekolah tersebut. Di kalangan mahasiswa, ia terkanal sebagai pemuda cerdas bercita-cita tinggi, gemar membaca sehingga memiliki perpustakaan sendiri.
Kegiatan berorganisasi dan berpolitik dimulai Yamin dengan memasuki Jong Sumateranen Bond dan kemudian Indonesia Muda. Ia termasuk salah seorang yang selalu mendambakan persatuan Indonesia. Dasar-dasar untuk persatuan itu digali dari buku-buku yang banyak dibacanya. Dari buku-buku itu ditemukan tiga unsur pokok yang dapat dijadikan dasar untuk membina persatuan, yakni kesatuan bangsa, kesatuan bahasa, dan kesatuan wilayah yang sudah ada di antara suku-suku bangsa Indonesia sejak zaman lampau. Pokok-pokok pikiran itu dilontarkannya dalam Kongres Pemuda bulan Oktober 1928 dan dari situ lahirlah Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
Menjelang Proklamasi Kemerdekaan, Yamin duduk dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan ikut menyampaikan gagasan tentang dasar falsafah Negara yang sekarang dikenal dengan nama Pancasila. Ia turut pula merumuskan Undang-Undang Dasar 1945. Setelah Negara Republik Indonesia terbentuk, Yamin diangkat menjadi penting Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Jabatan penting lain yang pernah dipegangnya ialah Ketua Badan Perancang Pembangunan Nasional, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Wakil Menteri Pertama Bidang Khusus dan Menteri Penerangan.
Prof. Muhammad Yamin, S.H. banyak menulis buku, baik mengenai sejarah maupun mengenai hokum. Ia meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 1962 sewaktu menjadi Menteri Penerangan dan dimakamkan di Talawi, tempat kelahiran dan kampong halamannya.
SUPRIYADI (1923-1945)
Pahlawan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 063/TK/Tahun 1975
Tanggal 9 Agustus 1975)
Supriyadi lahir di Trenggalek, Jawa Timur, pada tanggal 13 April 1923. sesudah menamatkan ELS (setingkat Sekolah Dasar), ia melanjutkan pelajaran ke MULO (setingkat sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), kemudian memasuki Sekolah Pamongpraja di Magelang sampai Jepang mendarat di Indonesia.
Pada masa Jepang, Supriyadi memasuki Sekolah Menengah Tinggi. Sesudah itu mengikuti latihan pemuda (seinendoyo) di Tangerang. Pada bulan Oktober 1943 Jepang membentuk Tentara Pembela Tanah Air (Peta). Tujuannya ialah untuk memberikan latihan kemiliteran kepada pemuda-pemuda Indonesia. Mereka selanjutnya akan dipakai untuk membantu Jepang menahan serbuan Sekutu. Tetapi, tokoh-tokoh pergerakan nasional berhasil menanamkan perasaan kebangsaan di kalangan pemuda-pemuda tersebut.
Supriyadi mengikuti pendidikan Peta dan sesudah itu diangkat menjadi Shodanco di Blitar. Ia sering bertugas mengawasi para romusnya membuat bententg-benteng pertahanan di pantai selatan. Ia menyaksikan bagaimana sengsaranya para romusya. Makanan kurang dan kesehatan tidak terjamin. Banyak diantaranya yang meninggal dunia karena sakit. Supriyadi tidak tahan melihat keadaan itu. Dengan beberapa orang temannya, ia merencanakan pemberontakan melawan Jepang. Walaupun menyadari bahwa waktu itu Jepang sangat kuat, namun ia tetap berniat untuk melakukan perlawanan.
Pemberontakan dilancarkan dinihari tanggal 14 Pebruari 1945, di Daidan Blitar. Jepang sangat terkejut mendengar perlawanan tersebut. Mereka mengerahkan kekuatan yang besar untuk menangkap anggota-anggota pasukan Peta Blitar. Selain itu, dilakukan pula siasat membujuk beberapa tokoh pemberontak.
Karena kurang pengalaman dan kekuatan tidak seimbang, pemberontakan itu ditindas Jepang. Tokoh-tokoh pemberontak yang tertangkap, diadili dalam mahkamah militer Jepang. Ada yang dihukum mati dan ada pula dihukum penjara. Supriyadi tidak ikut diadili, bahkan namanya tidak disebut dalam sidang pengadilan. Rupanya ia sudah di bunuh Jepang pada waktu tertangkap. Sampai saat ini tidak diketahui di mana makam Supriyadi.
SULTAN AGUNG (1591-1645)
Pahlawan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 106/TK/Tahun 1975,
Tanggal 3 Nopember 1975)
Sultan Agung Hanyokrokusumo lahir di Yogyakarta pada tahun 1591. Umur dua puluh dua tahun, pada tahun 1613, ia sudah diangkat menjadi raja Kerajaan Mataram. Ia terkenal tangkas, cerdas dan taat menjalankan agama Islam. Hamper seluruh pulau Jawa berhasil ditempatkan di bawah kekuasaan Mataram. Dengan kerajaan-kerajaan lain di Indonesia di binanya hubungan baik, terutama dalam masalah perdagangan.
Pada masa Pemerintahan Sultan Agung, Kompeni Belanda sudah menguasai beberapa daerah di Indonesia, antara lain Jakarta, dan terus berusaha memperluas daerah kekuasaannya. Keadaan itu merupakan bahaya untuk keutuhan dan kebesaran Mataram. Untuk menghadapi bahaya tersebut, Sultan Agung memperbesar angkatan perang Mataram dan rencana untuk menyerang Belanda di Jakarta disusun. Serangan pertama dilancarkan pada tahun 1628. Sultan Agung mengerahkan sebuah armada yang terdiri atas 59 buah kapal dan pasukan darat berjumlah kurang lebih 20.000 orang. Pasukan tersebut menempuh jalan yang sangat jauh dari Yogyakarta ke Jakarta. Beberapa orang panglimaperang turut memimpin, antara lain Baurekso dan Tumenggung Suro Agul-agul. Serangan pertama itu berakhir dengan kegagalan sebab Belanda dengan cepat dapat mendatangkan bala bantuan dari daerah lain.
Untuk kedua kalinya, pada tahun 1629 pasukan Mataram bergerak lagi ke Batavia dengan persiapan yang lebih baik. Di beberapa tempat didirikan gudang-gudang untuk menyimpan bahan makanan. Kota Batavia dikepung dengan ketat. Meriam-meriam Mataram menghujani banteng-benteng Belanda. Tetapi, pada waktu itu berjangkit wabah penyakit sehingga banyak pasukan mataram yang terserang wabah dan meninggal dunia. Selain itu, Belanda dapat pula mengetahui tempat-tempat penyimpanan bahan makanan pasukan Mataram lalu membakarnya. Serangan yang kedua ini pun mengalami kegagalan.
Sesudah serangan yang kedua itu Sultan Agung tidak dapat lagi mengerahkan pasukan untuk menyerang Belanda. Ia kembali ke Mataram dan memperkuat pertahanan dalam negeri serta memajukan kemakmuran rakyat. Sultan Agung meninggal dunia dalam thaun 1645 setelah berhaasil membawa Mataram ke puncak kejayaan. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri, sebelah selatan Yogyakarta.
IR. SOEKARNO (1591-1645)
Pahlawan Proklamator
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 081/TK/Tahun 1986,
Tanggal 23 Oktober 1986)
Ir. Soekarno lahir pada tanggal 6 Juni 1901 di Surabaya. Pada usia dua puluh lima tahun ia menyeleaikan kuliahnya di Technische Hoge School (sekarang Institut Teknologi Bandung).
Sejak muda soekarno sudah melibatkan diri dalam pergerakan politik memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1925 ia mendirikan Algemeene Studie Club di Bandung. Dua tahun kemudian, 4 Juli 1927, bersama beberapa tokoh politik lainnya, Ir. Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). PNI berjuang untuk memperoleh kemerdekaan dengan kekuatan sendiri, tanpa kerja sama dengan pemerintah Belanda.
Ir. Soekarno yang lebih dikenal dengan panggilan Bung Karno, terkenal sebagai orator yang ulung. Pidato-pidatonya mampu membangkitkan semangat rakyat. Dengan tuduhan mampu membangkitkan semangat rakyat. Dengan tuduhan menghasut rakyat untuk memberontak, pada akhir Desember 1929 Bung Karno dan beberapa tokoh PNI ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara. Pada waktu Bung Karno dalam penjara, PNI membubarkan diri. Sebagai gantinya didirikan Partai Indonesia (Partindo). Setelah bebas dari tahanan, Bung Karno memimpin Partindo. Kembali ia berjuang untuk memperoleh kemerdekaan bangsanya. Akibatnya, pada bulan Agustus 1933 ia ditangkap dan diasingkan ke Ende (Flores), kemudian dipindahkan ke Bengkulu. Bung Karno baru bebas setelah Jepang menduduki Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang, Ir. Soekarno memimpin Pusat Tenaga Rakyat (Putera) bersama Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur. Organisasi ini dibentuk Jepang untuk kepentingan mereka. Akan tetapi, Bung Karno dan kawan-kawannya menggunakan Putera untuk kepentingan Indonesia. Karena itu, Putera dibubarkan oleh Jepang.
Bulan September 1944 Jepang mengeluarkan janji akan memerdekakan Indonesia. Untuk itu dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar Negara yang disebutnya Pancasila. Gagasan itu kemudian disempurnakan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk setelah BPUPKI dibubarkan Ir. Soekarno diangkat sebagai ketua PPKI.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Ir. Soekarno dan Mohmammadh Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 Ir. Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia Jabatan. Sebagai presiden itu dipangkunya sampai tahun 1967.
Ir. Soekarno meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1970. Jenazahnya dimakamkan di Blitar, Jawa Timur.
DR. MOHAMMAD HATTA (1902-1980)
Pahlawan Proklamator
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 081/TK/Tahun 1986,
Tanggal 23 Oktober 1986)
Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Setelah menyelesaikan pendidikan di dalam negeri, pada tahun 1921 ia berangkat ke negeri Belanda mengikuti kuliah pada Handels Hogere School (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Terrerdam. Kuliah ini baru dapat diselesaikannya pada tahun 1932 karena kegiatannya dalam Perhimpunan Indonesia (PI). Selama empat tahun berturut-turut, dari tahun 1926 sampai 1930, ia menjadi Ketua PI. Organisasi para mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri Belanda ini berjuang untuk mencapai kemerdekaan bangsa atas dasar kekuatan sendiri, dilakukan oleh seluruh bangsa tanpa membedakan suku bangsa.
Hatta sering menghadiri kongres ertarap internasional yang diadakan oleh berbagai organisasi antikolonialisme. Dalam kongres itu ia memperkenalkan perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda. Pemerintah Belanda menuduh Hatta menghasut rakyat agar memberontak. Pada bulan September 1927 ia dan tiga orang tokoh PI ditangkap, kemudian diadili. Dalam sidang pengadilan bulan Maret 1928 mereka dibebaskan sebab pengadilan tidak dapat membuktikan kesalahan mereka.
Hatta kembali ke Indonesia pada tahun 1932. bersama sutan Syahrir, ia memimpin partai politik Pendidikan Nasional Indonesia yang lebih dikenal dengan nama PNI-Baru. Karena kegiatan politik itu, pada bulan Januari 1935 ia diasingka ke Digul, kemudian dipindahkan ke Banda Naira, dan akhirnya ke Sukabumi (Jawa Barat). Ia baru bebas setelah Jepang menduduki Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang, Hatta ikut memimpin Pusat Tenaga Rakyat (Putera) kemudian ia diangkat sebagai Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 17 Agustus 1945, Hatta mendampingi Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945, ia dipilih menjadi wakil Presiden RI. Selama Perang Kemerdekaan ia pernah pula menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat (RIS). Sesudah Indonesia kembali ke bentuk Negara kesatuan, Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden RI. Jabatan itu dipangkunya sampai ia mengundurkan diri pada tanggal 1 Desember 1956.
Dr. Mohammad Hatta yang juga dikenal dengan penggilan Bung Hatta meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 14 Maret 1980. Sesuai dengan amanatnya, jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta. Selain sebagai negarawan, Hatta dikenal pula sebagai Bapak Koperasi.
SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX (1912-1988)
Pahlawan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 053/TK/Tahun 1986)
Sri Sultan Hamengku Buwono IX lahir di Yogyakarta pada tanggal 12 April 1912. Sesudah menyelesaikan pendirikan di dalam negeri, pada tahun 1912. sesudah menyelesaikan pendidikan di dalam negeri, pada tahun 1930 ia berangkat ke negeri Belanda mengikuti kuliah pada Gymnasium di Haarlem, kemudian Jurusan Indologi pada Rijksintituut di Leiden. Kuliah ini tidak sempat diselesaikannya berhubung dengan pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1939. Ia terpaksa kembali ke tanah air.
Hamengku Buwono IX dinobatkan sebagai Sultan Yogya pada bulan Maret 1940. Dalam menjalankan pemerintahan, ia berusaha mengurangi campur tangan Belanda. Ia tidak begitu saja mengikuti peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda. Terhadap pemerintah pendudukan Jepangpun Sultan bersikap tegas.
Dua hari sesudah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Hamengku Buwono IX mengirim telegram ucapan selamat kepada Presiden Soekarno. Kemudian, pada tanggal 5 September 1945 ersama Paku Alam VIII, ia mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa daerah Yogyakarta adalah bagian dari wilayah RI. Selama Perang Kemerdekaan (1945-1949) ia aktif membantu perjuangan melawan Belanda. Pada waktu kota Yogya diduduki Belanda dalam agresi militer kedua, Sultan membantu dan melindungi prajurit-prajurit TNI di dalam keratonnya walaupun Belanda mengancam akan menduduki keraton.
Pada tanggal 27 desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Upacara pengakuan kedaultan dilaksanakan di Indonesia dan di negeri Belanda. Di Indonesia, Sultan Hamengku Buwono menerima pengakuan kedaultan dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda untuk Indonesia.
Dalam pemerintah RI, beberapa kali Sultan menduduki jabatan penting, antara lain Menteri Pertahanan, Wakil Perdana Menteri, Ketua Badan Pengawas Keuangan, dan Menteri Utama Bidang Ekonomi dan Keuangan. Ia berjsa meyakinkan Negara – Negara lain untuk membantu perekonomian Indonesia yang sangat parah pada masa awal Orde Baru. Peranannya juga besar dalam memajukan olahraga, membina pramuka, dan mengembangkan pariwisata. Ia pernah menjadi Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, dan Ketua Dewan Pembimbing Lembaga Pariwisata Nasional.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX meninggal dunia di Amerika Serikat pada tanggal 3 Oktober 1988. Jenazahnya dikebumikan di pemakaman raja-raja Yogya di Imogiri.
SULTAN ISKANDAR MUDA (1593-1636)
Pahlawan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 077/TK/Tahun 1993)
Sultan Iskandar Muda lahir di Banda Aceh pada tahun 1593. Sejak muda ia sudah memperlihatkan kemampuan memimpin. Pada tahun 1606 ia memimpin pasukan Aceh memukul mundur pasukan Portugis yang mencoba mendarat di pantai Aceh. Setahun kemudian, tahun 1607, ia dinobatkan sebagai Sultan Aceh.
Pada masa pemerintahan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengalami masa jaya. Wilayah kerajaan ini meliputi sebagian besar pantai barat dan pantai Timur Sumatera. Beberapa kerajaan di Semenanjung Malaya (Malaysia) berada di bawah kekuasaan Aceh.
Musuh utama yang dihadapi Iskandar Muda ialah bangsa Portugis yang sejak tahun 1511 sudah menguasai Malaka. Portugis di Malaka merupakan Ancaman terhadap Aceh. Sebaliknya, Portugis pun menganggu Aceh sebagai ancaman terhadap monopoli perdagangan yang ingin mereka jalankan di sekitar Selat Malaka. Karena itulah antara dua kekuasaan ini sering terjadi bentrokan bersenjata. Kapal-kapal Portugis yang berlaya di Selat Malaka sering sering oleh armada Aceh. Begitu pula sebaliknya.
Untuk mengusir Portugis dari Malaka, Iskandar Muda memperkuat angkatan perang Aceh, terutama angkatan laut. Pelatih-pelatih didatangkan dari luar negeri, terutama dari Turki.
Serangan terhadap Portugis di Malaka dilancarkan pada tahun 1615. Serangan itu gagan. Serangan kedua dan besar besaran dilancarkan lagi pada thaun 1629. Pasukan Portugis terkepung dan terancam. Mereka hampir saja menyerah. Akan tetapi, pada saat Aceh hamper memetik kemenangan, Portugis mendapat bantuan dari pasukan Johor, Pahang, dan Patani. Ketiga kerajaan ini memang tidak menyanangi Aceh sebab pernah ditaklukkan Aceh pada masa sebelumnya. Dengan datangnya pasukan bantuan itu, Portugis menjadi kuat. Armada Aceh terkepung dan akhirnya mengundurkan diri.
Sesudah kegagalan serangan yang kedua itu, Sultan Iskandar Muda lebih banyak mencurahkan perhatiannya terhadap masalah-masalah dalam negeri. System pemerintahan disempurnakan dan pendidikan agama mendapat prioritas. Pedagang-padagang Inggris dan Belanda diizinkan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh menurut jangka waktu tertentu dan harus tunduk kepada peraturan yang diberlakukan oleh Aceh. Sesudah berhasil membawa Aceh ke puncak kejayaan, pada tanggal 27 September 1636, dalam usia 43 tahun, Sultan Iskandar Muda meninggal dunia.
TUANKU TAMBUSAI (1784-1882)
Pahlawan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 071/TK/Tahun 1995,
Tanggal 7 Agustus 1995)
Tuanku Tambusai lahir pada tanggal 5 Nopember 1784 di Dalu-dalu, Kabupaten Kampar, Propinsi Riau. Nama kecilnya Muhammad Saleh, putra pejabat tinggi agama di Kerajaan Tambusai. Selain pada ayahnya, ia juga belajar ilmu agama pada beberapa ulama di Sumatera Barat. Pada waktu itulah ia berkenalan dengan tokoh Padri, Tuanku Imam Bonjol.
Pada waktu kaum Padri berperan melawan Belanda, Tuanku Tambusai membentuk pasukan yang beroperasi di bagian utara Sumatera Barat. Mula-mula ia bergabung dengan Tuanku Rao. Mereka mendirikan benteng pertahanan di Rao. Pada bulan September 1832 benteng itu jatuh ke tangan Belanda. Tuanku Tambusai membawa pasukannya ke Tapanuli Selatan. Setelah Tuanku Rao gugur dalam pertempuran di Airbangis, Praktis Tuanku Tambusailah yang memimpin pasukan Padri di bagian utara Sumatera Barat. Pada thaun 1834 ia mulai mendirikan serangkaian benteng di Dalu-dalu.
Tuanku Tambusai merupakan ancaman yang cukup serius bagi Belanda. Peranannya dalam mengurangi tekanan Belanda terhadap pertahanan utama Padri di Bonjol sangat besar. Pada tahun 1835 pasukannya mengepung kedudukan Belanda di Rao dan Lubuk Sikaping sehingga hubungan pasukan mengepung kedudukan Belanda di rao dan Lubuk Sikaping sehingga hubungan pasukan Belanda antara satu tempat dan tempat lain terputus. Adakalanya ia menyerang pos-pos militer Belanda di Tapanuli Selatan sehingga kekuatan Belanda yang mengepung Bonjol menjadi tepecah. Namun, pada bulan Agustus 1837 Bonjol jatuh ke tangan Belanda.
Walaupun Bonjol jatuh namun Belanda belum merasa aman sebelum perlawanan Tuanku Tambusai diakhiri. Untuk itu, pada awal tahun 1838 pasukan Belanda menyerang Dalu-dalu dari dua arah, yakni dari Pasir Pengarayan dan dari Tapanuli Selatan.s erangan itu gagal. Tuanku Tambusai sudah mendirikan benteng berlapis-lapis. Serangan berikutnya dilancarkan Belanda pada bulan Mei 1838. Beberapa benteng dapat mereka rebut, namun Belanda memerlukan waktu beberapa bulan lagi sebelum perlawanan Tuanku Tambusai dapat mereka akhiri. Barulah pada tanggal 28 Desember 1838, benteng utama Dalu-dalu jatuh ke tangan Belanda. Tuanku Tambusai berhasil meloloskan diri ke Malaysia. Ia meninggal dunia pada tanggal 12 Nopember 1882 di negeri Sembilan, Malaysia.
Kehebatan perlawanan Tuanku Tambusai diakui oleh pihak Belanda. Mereka menyebut Tuanku Tambusai sebagai “Harimau Padri dari Rokan”.
NY. Hj. SITI HARTINAH SOEHARTO (1923-1996)
Pahlawan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 060/TK/Tahun 1996,
Tanggal 30 Agustus 1996)
Siti Hartinah yang akrab dengan panggilan Ibu Tien lahir pada tanggal 23 Agustus 1923 di Karanganyar, Surakarta, Jawa Tengah. Ia menempuh pendidikan Hollands Inlandsche School (setingkat Sekolah Dasar) di Wonogiri. Sesudah itu, ia bekerja di sebuah lembaga kebudayaan di Surakarta. Pada masa pendudukan Jepang, Siti Hartinah memasuki organisasi wanita Fujinkai. sesudah kemerdekaan Indonesia di Solo. Di samping itu, ia juga aktif bekerja dalam organisasi Palang Merah Indonesia.
Pada tahun 1947 Siti Hartinah menikah dengan Letnan Kolonel Soeharto. Sesudah Perang Kemerdekaan (1945-1949) berakhir, karier militer Soeharto semakin meningkat sampai akhirnya ia berpangkat jenderla dan pada thaun 1967 diangkat menjadi Presiden RI. Siti Hartinah pun menyesuaikan diri dengan kedudukan suaminya. Selama dua puluh sembilan tahun, sebagai istri presiden, ia menyandang predikat “Ibu Negara”.
Ibu Tien menyibukkan dirinya dalam berbagai kegiatan sosial dan budaya. Ia aktif memperkenalkan budaya Indonesia kepada tamu-tamu Negara yang berkunjung ke Indonesia. Untuk lebih memperkenalkan budaya itulah, di samping untuk membina rasa persatuan antarsuku, ia memprakarsai pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Perhatiannya terhadap hak-hak wanita cukup besar. Ia memperjuangkan hak-hak wanita dalam perkawinan yang akhirnya melahirkan Undang-Undang Perkawinan.
Ibu Tie aktif pula membina kepemudaan dan kepramukaan, pendidikan, peningkatan kesejahteraan anak terlantar, dan kesejahteraan para penyandang cacat. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ia memprakarsai pendirian beberapa rumah sakit, seperti Rumah Sakit Anak dan Bersalin, Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, dan Rumah Sakit Kanker Dharmais. Selain itu, ia juga memimpin berbagai yayasan social, antara lain Yayasan Harapan Kita, dan Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan. Untuk menumbuhkan minat baca di kalangan masyarakat, ia memprakarsai pendirian perpustakaan Nasional.
Ny. Siti Hartinah Soeharto meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 21 April 1996. Jenazahnya dikebumikan di Pemakaman keluarga “Giribangun” di Karanganyar, Jawa Tengah.
RAJA HAJI FISABILILLAH (1725-1784)
Pahlawan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 072/TK/Tahun 1997,
Tanggal 11 Agustus 1997)
Raja Haji pada tahun 1725 di Kota Lama, Hulu Riau. Pada tahun 1777 ia diangkat sebagai Yang Dipertuan Muda (YDM) Kerajaan Melayu – Riau. Dalam Sistem Kerajaan Melayu-Riau, pemerintah sehari-hari dijalankan oleh YDM.
Raja Haji berhasil memajukan Kerajaan Melayu-Riau baik di bidang ekonomi maupun dibidang budaya. Ia juga membangun angkatna perang yang kuat, terutama armada. Kubu-kubu pertahanan dibangun di berbagai tempat, terutama di Pulau Penyengat, tempat kedudukan YDM. Hal itu dimaksudkannya untuk menghadapi ancaman Belanda yang pada masa itu masih menguasai Malaka.
Pada tahun 1780 Raja Haji mengadakan perjanjian persahabatan dengan Belanda. Akan tetapi, dua tahun kemudian, perjanjian itu dilanggar oleh Belanda. Akibatnya, hubungan Belanda dengan Kerajaan Melayu-Riau menjadi tegang.
Selama sebelas bulan angkatan laut Belanda memblokade Riau, tetapi hasilnya hamper-hampir tidak ada. Bahkan, sebuah kapal perang Belanda diledakkan oleh armada Melayu-Riau. Usaha Belanda merebut Pulau Penyengat juga gagal. Sesudah itu tercapai persetujuan gencatan senjata. Akan tetapi, secara diam-diam Belanda mendatangkan kapal perang yang lebih besar perairan Riau. Dengan demikian, pertempuran pecah kembali.
Raja Haji bersepakat dengan Sultan Selangor untuk bersama-sama menyerang Malaka. Untuk itu, ia membangun pertahanan di Teluk Ketapang. Pada bulan Prebruari 1784 pasukan gabungan Melayu-Riau dan Selangor mulai melancarkan serangan. Untuk menghadapi serangan itu, Belanda mendatangkan pasukan yang cukup besar dari Jawa. Mereka berusaha merebut pertahanan Raja Haji di Teluk Ketapang, namun gagal. Karena itu, Belanda menambah lagi kekuatan pasukannya. Pada tanggal 18 Juni 1784 pertahanan Raja Haji di Teluk Ketapang mereka serang dari arah belakang. Pertempuran sengit berkobar. Raja Haji langsung memimpin pasukannya. Namun, ia terkena tembakan dan tewas seketika. Jenazahnya dimakamkan di sebuah lereng bukit di kota Malaka, kemudian dipindahkan ke pemakaman raja-raja Melayu-Riau di selatan Pulau Penyengat.
SULTAN SYARIF KASIM II (1893-1968)
Pahlawan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 109/TK/Tahun 1998,
Tanggal 6 Nopember 1998)
Sultan Syarif Kasim II lahir di Siak Sri Indrapura pada tanggal 1 Desember 1893. Selain memperoleh pendidikan agama, ia juga mengikuti pendidikan hukum dan tata Negara pada Institut Beck en Volten di Jakarta.
Pada tahun 1915 Syarif Kasim dinobatkan sebagai Sultan Siak. Sejak itu, ia mulai memperlihatkan sikap tidka senang terhadap Belanda. Ia tidak mau mengakui perjanjian yang dibuat Belanda dengan sultan-sultan terdahulu. Ia menolak anggapan bahwa Kerajaan Siak adalah milik pemerintah Belanda yang dipinjamkan kepada raja-raja Siak. Akibatnya, hubungan Sultan dengan Belanda tegang.
Syarif Kasim berusaha meningkatkan kecerdasan penduduk Siak. Untuk itu didirikannya sekolah-sekolah dasar berbahasa Belanda di samping sekolah-sekolah berbahasa Melayu. Murid-murid yang berbakat diberinya bea siswa untuk melanjutkan pendidikan di daerah lain, didirikan pula sekolah agama. Para pengajar didatangkannya dari daerah lain, bahkan dari Mesir.
Sesudah kemerdekaan Indonesia diperoklamasikan, Sultan Syarif Kasim mengirim telegram kepada Pemerintah RI yang menyatakan bahwa Kerajaan Siak adalah bagian dari wilayah RI. Untuk membantu pemerintah RI, ia menyumbangkan kekayaannya sebanyak tiga belas juta gulden. Sultan-sultan di Sumatera Utara diajaknya agar mendukung RI, walaupun ajakannya itu kurang berhasil. Beberapa waktu lamanya ia berdiam di Langkat dan aktif membantu pejuang-pejuang RI dengan menyediakan bahan makanan.
Sementara itu, pada bulan Maret 1956 di Sumatera Utara terjadi revolusi social yang didalangi oleh golongan kiri untuk menghancurkan kaum bangsawan. Sultan Syarif Kasim pindah ke Aceh dan menyumbangkan tenaga membantu pemerintah daerah Aceh. Melalui pidato radio ia menganjurkan agar penduduk Siak tetap setia kepada pemerintah RI dan menolak pembentukan Dewan Siak oleh Belanda. Pada bulan Oktober 1949, ia berangkat ke Yogyakarta untuk menyerahkan lagi sebagian harta kekayaan kepada pemerintah RI.
Sesudah pengakuan Kedaulatan, Sultan Syarif Kasim diminta oleh Presiden menjadi penasihat presiden. Ia meninggal dunia pada tanggal 23 April di Rumbai, Pekanbaru.
FATMAWATI SOEKARNO (1923-1980)
Pahlawan Nasional
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 188/TK/Tahun 2000,
Tanggal 4 November 2000).
Fatmawati dilahirkan di Pasar Padang, Bengkulu, pada tanggal 15 Februari 1923, putrid dari seorang tokoh Muhammadiyah setempat. Ia menempuh pendidikan di Hollands Inlandsche School (HIS : Setingkat Sekolah Dasar) dan sekolah kejuruan yang dikelola oleh seorang organisasi Katolik. Ketika masih duduk di bangku HIS, ia sudah aktif berorganisasi sebagai anggota pengurus Nasyiatul Aisyiah, organisasi yang ada di bawah naungan Muhammadiyah. Namun, sebagai murid sekolah Katolik, ia tidak canggung berperan sebagai Bunda Maria dalam sandiriwa yang diadakan oleh sekolah tersebut.
Pada tahun 1938 Fatmawati berkenalan dengan Bung Karno. Tokoh pergerakan nasional ini dipindahkan di Flores ke Bengkulu. Bung Karno memasuki Muhammadiyah dan bertugas sebagai pengajar. Fatmawati menjadi salah seornag murid. Ia tinggal di rumah kediaman Bung Karno dan istrinya Inggit Garnasih. Lebih dari itu, ia dilamar oleh Bung Karno untuk dijadikan istri. Mereka menikah di Jakarta pada tahun 1943 setelah Bung Karno menceraikan Inggit secara baik-baik dan berjanji akan membantu kehidupan Inggir untuk masa selanjutnya.
Sejak tahun 1943 itu Fatmawati tinggal di Jakarta. Pada masa itu Indonesia berada di bawah kekuasaan pemerintah pendudukan Jepang. Sebagai istri tokoh pergerakan nasional, ia berkenalan dengan banyak tokoh lain. Seperti tokoh-tokoh lain itu. Fatmawati yakin bahwa kemerdekaan pasti tercapai. Untuk itu, ia menyiapkan selembar bendera yang akan dikibarkan bila saat bersejarah itu tiba. Bendara itu dijahitnya sendiri. Kain untuk bendera itu diperolehnya dari pemuda Chaerul Basri. Bendera itulah yang dikibarkan sesaat setelah kemerdekaan diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. kini bendera yang bersejarah itu dijadikan bendera pusaka dan disimpan di Museum Monumen Nasional (Monas).
Sehari setelah kemerdekaan diproklamasikan, Bung Karno diangkat menjadi presiden RI dan Fatmawati pun resmi menjadi Ibu Negara. Karena situasi Jakarta tidak aman lagi sejak datangnya NICA, mereka pindah ke Yogya. Sebagai seorang istri, Fatmawati mendampingi Bung Karno menghadapi masa-masa sulit selama berlangsungnya perang mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda. Pada waktu Belanda melancarkan agresi militer kedua (Desember 1948), Presiden Soekarno tertawan dan diasingkan ke luar Jawa. Fatmawati tetap tinggal di Yogya. Dalam keadaan serba sulit, dengan berbagai cara ia berusaha membantu kehidupan para istri prajurit yang ditinggal suami karena bergerilya di luar kota. Bahkan, bersama istri Kolonel Nasution, Fatmawati sering mengirim berbagai keperluan untuk para gerilyawan di daerah pedalaman.
Sebagai seorang wanita, Fatmawati berusaha meningkatkan peranan kaum wanita dalam pemerintahan. Usaha itu berhasil dengan diangkatnya beberapa tokoh wanita sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sesudah pengakuan Kedaulatan ia gigih memperjuangkan agar dokumen, arsip, dan benda-benda milik RI yang dirampas Belanda antara tahun 1945 dan 1949 dikembalikan kepada pemerintah RI.
Fatmawati meninggalkan kehidupan istana dan tinggal di rumah pribadi setelah Presiden Soekarno menikah dengan Hartini. Ia meninggal dunia pada tanggal 14 Mei 1980 di Kuala. Jenazahnya dimakamkan di Taman pemakaman Umum (TPU) Karet, Jakarta.