BAB I
PENDAHULUAN
Altruisme. Sebuah sikap tidak mementingkan diri sendiri sebagai negasi dari sikap egoisme, sebenarnya sebuah nilai dasar yang diusung oleh banyak tradisi dan bahkan juga agama. Sikap altruis ini muncul biasanya karena keterpanggilan atas sebuah tanggung jawab moral, bisa karena sebuah habit ataupun kedudukan atau kemampuan seseorang.
Dalam buku Psikologi Sosial karangan David O. Sears, altruisme adalah tindakan sukarela untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun atau disebut juga sebagai tindakan tanpa pamrih. Altruisme dapat juga didefinisikan tindakan memberi bantuan kepada orang lain tanpa adanya antisipasi akan reward atau hadiah dari orang yang ditolong (Macaulay dan Berkowitz, 1970). Definisi lain dari altruisme yaitu peduli dan membantu orang lain tanpa mengharap imbalan (Myers, 1993). Menurut Batson; 1991, altruisme adalah keadaan motivasional seseorang yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan orang lain.
Menurut Cialdini (1982) anak adalah individu yang berusia antara 10-12 tahun, yang merupakan masa peralihan antara tahapan presosialization (tahap dimana anak tidak peduli pada orang lain, mereka hanya akan menolong apabila diminta atau ditawari sesuatu agar mau melakukannya,tapi menolong itu tidak membawa dampak positif bagi mereka), tahap awareness (tahap dimana anak belajar bahwa anggota masyarakat di lingkungan tempat tinggal mereka saling membantu, mengakibatkan mereka menjadi lebih sensitif terhadap norma sosial dan tingkah laku prososial).
Pada tahap ini perilaku menolong bisa memberikan kepuasan secara intrinsik dan membuat orang merasa nyaman. Norma eksternal yang memotivasi menolong selama tahap kedua sudah diinternalisasi.
BAB II
PEMBAHASAN
Altruisme diartikan sebagai kewajiban yang ditujukan pada kebaikan orang lain. Dari kata Latin alter, artinya orang lain.Jadi, Altruisme adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri. Perilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam banyak budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama. Gagasan ini sering digambarkan sebagai aturan emas etika. Beberapa aliran filsafat berpendapat bahwa altruisme adalah suatu keburukan. Altruisme adalah lawan dari sifat egois yang mementingkan diri sendiri. Lawan dari altruisme adalah egoisme.
Altruisme dapat dibedakan dengan perasaan loyalitas dan kewajiban. Altruisme memusatkan perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran, sementara kewajiban memusatkan perhatian pada tuntutan moral dari individu tertentu (seperti Tuhan, raja), organisasi khusus (seperti pemerintah), atau konsep abstrak (seperti patriotisme, dsb). Beberapa orang dapat merasakan altruisme sekaligus kewajiban, sementara yang lainnya tidak. Altruisme murni memberi tanpa memperhatikan ganjaran atau keuntungan.
Suatu tindakan altruistik tidak berhenti pada perbuatan itu sendiri. Keberlanjutan tindakan itu sebagai produknya dan bukan sebagai kebergantungan merupakan salah satu indikasi dari moralitas altruistik. Moralitas altruistik tidak sekadar mengandung kemurahan hati atau belas kasihan. Ia diresapi dan dijiwai oleh kesukaan memajukan sesama tanpa pamrih. Karena itu, tindakannya menuntut kesungguhan dan tanggung jawab yang berkualitas tinggi.
Ciri utama moralitas altruistik adalah pengorbanan. Pemberian bantuan yang didasarkan pada kebutuhan sesama disebut sebagai tindakan filantropik. Karena itu, tindakan altruistik menjadi suatu yang diidealkan dalam ajaran-ajaran agama. Bahwa sesama manusia harus dikasihi.
Dalam bidang politik, bisnis, dan kehidupan sosial lainnya, acapkali dibutuhkan suatu bentuk pengorbanan untuk kemajuan bersama yang lebih baik. Kebiasaan pejabat tertentu mundur demi memberi kesempatan pada orang lain yang
lebih muda atau lebih potensial, adalah bentuk kerja sama dan pengorbanan yang diperlukan untuk memberi manfaat yang berharga dan untuk tujuan lebih luhur bagi kemanusiaan.
Walaupun Darwin mengajarkan survival of the fittest sebagai hukum evolusi, ternyata bahwa hukum itu tidak semata-mata dijalani dengan berkompetisi dan cenderung mengorbankan pihak lain dan orang lain, tetapi juga, secara alamiah hukum itu mengandung makna pengorbanan. Memang tidak mudah memahami ada manusia bersedia mengorbankan kepentingannya sendiri untuk kebaikan orang lain. Nietzsche umpamanya menyebut kesediaan berkorban dan kerendahan hati sebagai suatu mental budak, mental orang-orang yang tak sanggup berjuang dan orang-orang yang mudah menyerah.
Dalam era globalisasi sekarang ini, memang muncul paradoks dalam relasi antarmanusia. Di satu pihak, persaingan atau kompetisi begitu kuat dipacu oleh pemimpin-pemimpin politik dan bisnis. Namun di pihak lain, muncul orang- orang yang merelakan dirinya, menempuh bahaya dan risiko untuk kepentingan orang lain.
Ketika terjadi bencana yang begitu besar, kita menyaksikan dengan penuh haru kesediaan banyak orang menyediakan diri menolong sesama tanpa pamrih. Kita sering menjadi malu sebagai bangsa, solidaritas dari mereka yang sering kita anggap sebagai manusia individualistik dan egoistik justru memperlihatkan praktik hidup altruistik atau sekurang-kurangnya filantropik.
Sebenarnya tindakan altruistik masih sangat banyak kita temukan pada para pengabdi kemanusiaan yang tulus dan ikhlas membantu sesamanya: para dokter, guru, pekerja sosial, agamawan dan lain-la- in golongan manusia yang menjalankan tugas dan profesinya tanpa pamrih.
Contohnya orang-orang yang berjuang untuk kepentingan sesama, menjadi bukti bagi kita bahwa sebenarnya tindakan altruistik masih menjadi suatu kerangka moral manusia yang bernilai tinggi. Filantropis memang berbeda dengan altruistik. Filantropis berarti kesediaan membantu sesama yang membutuhkan, baik dalam bentuk uang, barang maupun waktu. Namun, tindakan filantropis memang sangat tipis bedanya dengan tindakan altruistik.
Di seluruh dunia, lembaga-lembaga agama, perusahaan dan perkumpulan orang perorangan telah lama mengorganisir usaha-usaha kemanusiaan filantropis. Usaha-usaha filantropis ini telah memunculkan banyak organisasi kemanusiaan yang dikenal dengan LSM.
Lepas dari adanya “bisnis” dalam usaha-usaha kemanusiaan ini, jelaslah bahwa tindakan-tindakan filantropis baik yang dilakukan oleh organisasi maupun oleh perorangan dalam memberi dana, harta dan waktunya, dapat menjadi cikal bakal tindakan altruistik.
Menurut Hipotesis Empati Altruisme yang dinyatakan oleh Batson bahwa dengan menyaksikan orang lain yang sedang dalam keadaan membutuhkan akan menimbulkan kesedihan atau kesukaran pada diri orang yang melihatnya seperti kecewa dan khawatir.Mekanisme utama dari model empati Batson ini adalah reaksi emosio
Batson mengusulkan bahwa empati concern mengurangi stress atau tekanan terhadap orang lain. Empathy concern merupakan penyebab motivasional altruistik yang situasinya terletak pada identifikasi dermawan terhadap situasi genting bagi korban. Batson (1991) mengidentifikasi bahwa ada 3 cara untuk menolong.
Dua cara utama bersifat egoistik. Cara pertama didasarkan pada pembelajaran sosial dan reinforcement. Cara kedua melibatkan pengurangan ketegangan dan cara ketiga mewakili altruisme. Pada cara ini persepsi kebutuhan orang lain berhubungan dengan ikatan khusus dengan orang tersebut (contohnya karena kesamaan dengan orang itu atau usaha yang disengaja untuk menempatkan diri pada posisi orang itu) menggeneralisasikan empathy concern.
B.Teori Altruisme
Altruisme dapat didefinisikan sebagai hasrat untuk menolong orang lain tanpa memikirkan kepentingan sendiri (Myers, 1996).
1.Teori Altruisme Behavioris
Kaum Behavioris murni mencoba menjawab pertanyaan “mengapa orang menolong” adalah melaluui proses kondisioning klasik dari Pavlov. Menurut pendapat mereka,
manusia menolong karena dibiasakan oleh masyarakat untukmenolong dan untuk perbuatan itu masyarakat menyediakan ganjaran yang positif.
2.Teori Pertukaran Sosial.
Menurut teori ini, setiap tindakan seseorang dilakukan dengan mempertimbangkan untung ruginya. Bukan hanya dalam bentuk material atau financial, akan tetapip juga dalam bentuk psikologis seperti memperoleh informasi,pelayanan, status, penghargaan, perhatian, kasih saying, dan sebagainya.
Yang dimaksudkan dengan keuntungan adalah hasil yang diperoleh lebih besar dari pada usaha yang dikeluarkan. Berdasarkan prinsip sosial ekonomi ini, setiap perilaku pada dasarnya dilaksanakan dengan strategi minimax, yaitu meminimalkan usaha dan memaksimalkan hasil agar diperoleh keuntungan atau laba yang sebesar-besarnya.
3.Teori Empati.
Egoisme dan simpati berfungsi bersama-sama dalam perilaku menolong. Dari segi egoism, perilaku menolong dapat mengurangi ketegangan diri sendiri, sedangkan dari segi simpati, perilaku menolong tersebut dapat mengurangi penderitaan orang lain. Gabungan dari keduanya dapat menjadi empati, yaitu ikut merasakan penderitaan orang lain sebagai penderitaanya sendiri. Dalam empati, focus usaha menolong terletak pada penderitaan orang lain, bukan pada penderitaan diri sendiri.
4.Teori Norma Sosial.
Menurut teori ini, orang menolong karena diharuskan oleh norma-norma masyarakat. Ada tiga macam norma sosial yang biasanya dijadikan pedoman untuk perilaku menolong.
a. Norma timbal balik (reciprocity norm). Intinya adalah kita harus membalas pertolongan dengan pertolongan. Jika kita sekarang menolong orang lain, lain kali kita akan ditolong orang atau karena di masa lampau kita pernah ditolong orang, sekarang kita harus menolong orang.
Norma ini khususnya berlaku antara orang-orang yang setara atau sekelas, yang kemampuannya lebih kurang seimbang. Dalam hubungan dengan orang-orang yang kemampuannya lebih rendah (dengan anak-anak, orang miskin, orang sakit, orang cacat, orang yang mengalami kecelakaan, dan sebagainya) berlaku norma tanggung jawab sosial.
b. Norma tanggung jawab sosial. Intinya adalah kita wajib menolong orang lain tanpa mengharapkan balasan apapun di masa depan. Oleh karena itu kita mau menolong orang buta menyeberang jalan, mengambilkan barang yang jatuh dari orang berkursi roda, menunjukkan jalan kepada orang yang menanyakan jalan, dan sebagainya.
c. Norma keseimbangan. Norma ini berlaku di dunia bagian timur. Intinya adalah bahwa seluruh alam semesta harus berada dalam keadaan seimbang, serasi, dan selaras. Manusia harus membantu untuk mempertahankan keseimbangan itu, antara lain dalam bentuk perilaku menolong.
5.Teori Evolusi.
Teori ini intinya beranggapan bahwa altruism adalah demi surviaval (mempertahankan jenis dalam proses evolusi).
a. Perlindungan kerabat. Secara alamiah orang memang cenderung membantu orang lain yang mempunyai pertalian darah dan orang-orang yang dekat dengan diri sendiri. Dari pengamatan dalam berbagai bencana alam, musibah, dan peperangan diketahui bahwa orang cenderung member pertolongan dalam urutan prioritas tertentu, yaitu anak-anak lebih diutamakan dari pada orang tua, keluarga lebih didahulukan dari pada teman atau tetangga, dan kenalan lebih didahulukan daripada orang asing. Hal ini membuktikan adanya naluri perlindungan kerabat dalam perilaku menolong.
b. Timbal balik biologik. Prinsip yang digunakan adalah menolong untuk memperoleh pertolongan kembali. Pertolongan diberikan kepada orang yang juga suka menolong.
c. Orientasi seksual. Dalam rangka mempertahankan jenis, ternyata kaum homoseksual, yang selalu merupakan minoritas dalam masyarakat manapun, mempunyai kecenderungan altruism yang lebih besar daripada orang-orang heteroseksual.
5.Teori Evolusi.
Teori ini intinya beranggapan bahwa altruism adalah demi surviaval (mempertahankan jenis dalam proses evolusi).
kewajipan moral untuk berkhidmat bagi kepentingan orang lain atau kebaikan kemanusiaan yang lebih besar. Dalam karyanya, Catechisme Positiviste, Comte mengatakan bahawa:
"sudut pandangan sosial tidak boleh mentoleransi tanggapan-tanggapan hak disebabkan tanggapan in berasaskan faham perseorangan. Kita dilahirkan di bawah berbagai-bagai jenis kewajipan kepada pendahulu-pendahulu dan pewaris-pewaris kita, serta orang-orang yang hidup sezaman.
Selepas kelahiran kita, kewajipan-kewajipan ini bertambah atau berkumpul buat satu tempoh sebelum kita dapat memulangkan sebarang perkhidmatan... Ini [iaitu hidup untuk orang-orang lain"], rumusan yang paling sahih untuk kesusilaan manusia, memberi kebenaran langsung secara eksklusif kepada naluri-naluri sifat suka membuat kebaikan, punca yang sama untuk kebahagiaan dan kewajipan. [Manusia harus berkhidmat untuk] Kemanusiaan, yang kita merupakan sepenuhnya."
2,Altruisme dan agama
Kebanyakan, jika bukan kesemua, agama sejagat menggalakkan altruisme (konsep bahawa manusia mempunyai kewajipan etika untuk membantu atau melanjutkan kebajikan orang-orang lain) sebagai suatu nilai kesusilaan yang amat penting. Bukan sahaja agama Kristian dan Buddhisme yang amat menekankan kesusilaan altruisme, tetapi agama Yahudi, Islam, Hinduisme dan banyak lagi agama yang lain juga mempromosikan tingkah lakunya.
3.Altruisme dalam politik.
Berdasarkan keyakinan-keyakinan politik, penyokong-penyokong altruisme boleh dibahagikan kepada dua kumpulan:
• mereka yang mempercayai bahawa altruisme merupakan suatu pilihan peribadi
• mereka yang mempercayai bahawa altruisme merupakan idaman kesusilaan yang harus dipeluk oleh semua manusia
. Altruisme sering termasuk juga oleh orang-orang yang bukan penyokong altruisme sebagai jenis dianggap etika yang harus memandu tindakan ahli-ahli politik serta orang-orang lain yang memegang jawatan-jawatan berkuasa. Orang-orang sebegitu biasanya dijangka harus mengetepikan kepentingan-kepentingan diri dan berkhidmat untuk manfaat penduduk-penduduk.
Apabila mereka tidak berbuat demikian, mereka akan dikritik sebagai telah gagal dalam apa yang dipercayai sebagai kewajipan etika untuk mengutamakan kepentingan-kepentingan orang lain berbanding kepentingan diri.
4. Altruisme dalam psikologi dan sosiologi
Jika seorang melakukan sesuatu perbuatan yang memanfaatkan orang-orang lain dengan tujuan untuk mendapat sesetengah manfaat peribadi, jadi perbuatan itu bukannya sesuatu yang didorong oleh altruisme. Terdapat beberapa sudut pandangan tentang bagaimana "manfaat" (atau "faedah") harus ditakrifkan. Keuntungan kebendaan (umpamanya uang, ganjaran fizikal, dan sebagainya) jelas merupakan satu bentuk manfaat, sedangkan orang-orang lain mengenal pasti dan memasukkan kedua-dua keuntungan kebendaan serta yang bukan kebendaan (kasih sayang, rasa hormat, kebahagiaan, kepuasan, dan sebagainya) sebagai manfaat-manfaat yang serupa dari
Menurut segi falsafah.egoisme falsafah, sedangkan orang-orang dapat menonjolkan tingkah laku altruisme, mereka tidak boleh mempunyai dorongan altruisme. Ahli-ahli egoisme falsafah mengatakan bahawa sedangkan mereka mungkin menghabiskan masa hidup mereka untuk memanfaatkan orang-orang lain tanpa sebarang manfaat kebendaan (atau kerugian kebendaan bersih) kepada diri mereka, tujuan mereka yang paling asas untuk berbuat demikian sentiasa merupakan pengejaran kepentingan diri.
Umpamanya, mereka akan mengatakan bahawa tujuan asas seseorang untuk bertindak sedemikian adalah untuk memajukan kesejahteraan psikologi ("perasaan baik") diri mereka.
Berbeda dengan egoisme psikologi, hipotesis altruisme empati menyatakan bahawa ketika seorang individu mengalami empati terhadap seseorang yang memerlukan bantuan, individu itu akan didorong oleh altruisme untuk membantu orang ini; iaitu, individu itu akan mengambil berat, terutamanya, tentang kebajikan orang ini dan bukan kebajikan diri sendiri.
Perilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam banyak budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama. Gagasan ini sering digambarkan sebagai aturan emas etika. Beberapa aliran filsafat, seperti Objektivisme berpendapat bahwa altruisme adalah suatu keburukan. Altruisme adalah lawan dari sifat egois yang mementingkan diri sendiri. Lawan dari altruisme adalah egoisme.
Altruisme dapat dibedakan dengan perasaan loyalitas dan kewajiban. Altruisme memusatkan perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran, sementara kewajiban memusatkan perhatian pada tuntutan moral dari individu tertentu (seperti Tuhan, raja), organisasi khusus (seperti pemerintah), atau konsep abstrak (seperti patriotisme, dsb). Beberapa orang dapat merasakan altruisme sekaligus kewajiban, sementara yang lainnya tidak. Altruisme murni memberi tanpa memperhatikan ganjaran atau keuntungan.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Altruisme diartikan sebagai kewajiban yang ditujukan pada kebaikan orang lain. Dari kata Latin alter, artinya orang lain.Jadi, Altruisme adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri. Perilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam banyak budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama. Gagasan ini sering digambarkan sebagai aturan emas etika. Beberapa aliran filsafat berpendapat bahwa altruisme adalah suatu keburukan. Altruisme adalah lawan dari sifat egois yang mementingkan diri sendiri. Lawan dari altruisme adalah egoisme.
B.Saran
Bahwa kita sebagai mahasiswa harus mencontoh prilaku altruisme,dan menerapkan dalam kehidupan sehari –hari
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Altruisme
http://maulanusantara.wordpress.com/2008/12/18/altruisme-dan-filantropis/
http://www.parkourindonesia.web.id/artikel/the-spirit-of-altruism-semangat-dari- altruisme.html
psykologi
MENJAUHI PERBUATAN RIYA/SYIRIK KECIL (BM : 1512)
1. Terjemahan Hadis
“Dari Mahmud bin Lubaid bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, “Sesuatu yang paling aku khawatirkan di antara kamu adaah syirik kecil, yaitu riya.”
2. Penjelasan Singkat
Riya artinya usaha dalam melaksanakan ibadah bukan dengan niat menjalankan kewajiban dan menunaikan perintah Allah SWT., melainkan bertujuan untuk dilihat orang, baik untuk kemasyhuran, mendapat pujian, atau harapan – harapan lainnya dari selain Allah.
Sebagaimana telah disinggung dalam bahasa niat, orang yang beribadah dengan riya tidak akan mendapat pahala dari Allah SWT. Hal itu karena dalam ibadahnya tidak lagi murni karena Allah melainkan karena makhluk-Nya. Tak heran kalau riya sebagaimana bunyi hadis di atas dikategorikan sebagai syirik kecil. Artinya dia mempercayai Allah SWT. Sebagai Tuhannya, tetapi pengabdiannya tidak utuh kepada-Nya, melainkan kepada Makhluk-Nya.
Dengan kata lain, hakikat amal mereka adalah penipuan belaka. Mereka melakukan ibadah bukan karena menjalankan perintah-Nya, apalagi demi mengharapkan rida-Nya, melainkan untuk mendapatkan pujian dari manusia, dan itulah di antara perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang munafik :
Allah SWT. Berfirman :
Artinya :
“Bahwasanya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka, ketika mereka berdiri melaksanakan sholat, mereka malas melakukannya, hanya pujian manusialah tujuan utamanya. Mereka tidak mengingat Allah kecuali hanya sedikit.”
Artinya :
“Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, “Sesungguhnya manusia yang pertama kali diadili di hari kiamat adalah seseorang yang mati syahid di jalan Allah, maka ia didatangkan dan diperlihatkan nikmat-nikmat (sebagai pahalanya), kemudian ia melihatnya seraya dikatakan (kepadanya),” amalan apakah yang engkau lakukan sehingga memperoleh nikmat-nikmat itu?” ia menjawab, “Aku berperang karena-Mu (Ya Allah), sehingga mati aku mati syahid.” Allah menjawab, “Dusta engkau, sesungguhnya kamu berbuat (yang demikian itu) supaya kamu dikatakan sebagai pahlawan. Dan kemudian (malaikat) diperintahkan kepadanya lalu menyeret mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka; seseorang yang diberi oleh allah SWT. Bermacam-macam harta benda, kemudia ia didatangkan dan diperlihatkan nikmat itu (sebagai pahalanya) lalu ia melihatnya seraya dikatakan (kepadanya), “Amal apakah yang engkau lakukan sehingga memperoleh nikmat itu?” ia menjawab, “Aku tidak pernah meninggalkan infak dari jalan yang Engkau Ridai (ya Allah), melainkan aku berinfak hanya karena-Mu.” Lalu allah SWT. Menjawab, “Dusta engkau, sesungguhnya kamu berbuat (yang demikian itu) "supaya kamu dikatakan sebagai orang dermawan, kemudian (malaikat) diperintahkan untuk menyeret mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka : dan seorang lagi menuntut ilmu dan mengajarkan atau membaca Al-Qur’an, maka ia didatangkan dan diperlihatkan nikmat-nikmat itu (sebagai pahalanya) lalu ia melihatnya seraya dikatakan (kepadanya), “Amal apakah yang engkau lakukan sehingga memperoleh nikmat itu? Ia menjawab, “Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, dan membaca Al-Quran (hanya) untuk-Mu (ya Allah). Kemudian Allah SWT. Menjawab, “Dusta engkau sesungguhnya engkau menuntut ilmu supaya dikatakan engkau pintar dan engkau membaca (Al-Qur’an) itu supaya dikatakan sebagai Qari,” kemudian (malaikat) diperintahkan untuk menyeret mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.”
(H.R. Muslim)
Imam al-Ghazali, dalam kitab Ihya Ulum Ad-Din, membagi riya menjadi beberapa tingkat, yaitu :
1. Tingkatan paling berat, yaitu orang tujuan setiap ibadahnya hanyalah untuk riya semata-mata dan tidak mengharapkan pahala, misalnya, seseorang yang melakukan sholat kalau di hadapan orang banyak, sedangkan apabila sendirian dia tidak melaksanakannya, bahkan kadang-kadang sholat tanpa berwudu terlebih dahulu.
2. Orang yang beramal dan mengharapkan pahala, tetapi harapannya sangat lemah karena dikalahkan oleh riya. Dia beramal ketika dilihat orang, sedangkan bila sendirian amalnya sangat sedikit. Misalnya seseorang yang memberikan sedekah banyak dihadapan orang, tetapi kalau sendiri (tidak ada yang melihat), ia memberikan sedikit saja sedekahnya.
3. Niat memperoleh pahala dan riya seimbang. Kalau dalam suatu ibadah hanya terdapat salah satunya saja, misalnya mendapat pahala, tetapi ia tidak bias riya, ia tidak mau melakukan ibadah. Demikian pula sebaliknya. Hal itu berarti merusak perbuatan baik, yakni bercampurnya pahala dan dosa.
4. Riya (dilihat orang) hanya pendorong untuk melakukan ibadah, sehingga jika tidak dilihat orangpun, dia tetap melakukan ibadah. Hanya saja ia merasa lebih semangat kalau dilihat orang.
Menurut Sayyidina Ali r.a tanda-tanda orang riya ada tiga :
1. Malas beramal kalau sendirian.
2. Semangat bermal kalau dilihat banyak manusia.
3. Amalnya bertambah banyak kalau dipuji oleh manusia dan berkurang kalau dicela manusia.